Pangeran Gerilya Tanpa Mahkota


Nicolaas Pieneman: The Submission of Prince Dipo Negoro to General De Kock
sumber: id.wikipedia.org

Di tangan kanannya masih tergenggam biji-biji tasbih, dan lidahnya pun tak pernah berpaut dari dzikir serta raut mukanya yang tenang menggambarkan hati yang basah oleh iman. Tanah Cellebes begitu berbeda dengan Jawa ternyata, apalagi di Mengkasar ia tak diperbolehkan keluar benteng.

Di depannya juru tulis tengah merekam setiap kata yang ia ceritakan, dari mulai hikayat Pulau Jawa hingga perjuangannya pula melawan kolonialisme. Walau ia sudah merampungkan tulisan otobiografinya, tapi tidak ada salahnya membuat salinan selagi ada jalan dan kemauan.

Gurat-gurat di wajahnya menyiratkan kerasnya hidup, matanya yang sendu karena usia menerawang jauh ke depan. Terbayang olehnya perjuangannya kini tidak sia-sia, akan ada suatu masa dimana kebebasan adalah keniscayaan, dan langit bangsa pada saat itu gemilang dinaungi rahmat dari Tuhan Semesta Alam.

***
Tanah Jawa sedang terjajah, semua hasil buminya dieksploitasi tanpa sisa, dan manusianya hidup dalam kesengsaraan. Orang pribumi direndahkan, bahkan di bagian barat Jawa pribumi disamakan dengan hewan peliharaan.

Tetapi menjadi sebuah ironi bahwa sistem feodal di tanah ini membuat para sultan dan raja justru tetap hidup mewah dan nyaman bersama para selir dan uang sogokan Belanda. Maka kondisi-kondisi berat seperti ini yang akan melahirkan seorang mujaddid: Pangeran Diponegoro.
“Wahai Kang Mas, penghidupan di kesultanan itu tentu jauh lebih baik bagi kita, tidak adakah hasrat pada dirimu untuk memimpin umat di sana?” tanya Raden Ayu Retnaningsih dengan gelisah.
“Aku mawas diri Adinda, ibuku bukanlah permaisuri. Kau tahu itu, lagi pula hatiku telah terpaut di Tegalrejo. Disini kita hidup bersama dengan masyarakat tanpa terhalang sekat. Bukankah indah?” jawab sang suami meneguhkan prinsipnya.
“Tapi Kang Mas, Sri Sultan sekarang tengah sakit-sakitan, dan kemenakannya terlalu muda untuk mengurus negara.”
“Maka sudah menjadi tugasku untuk mengawal kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono V hingga ia besar dan cukup umur guna mengurus negara, Adinda. Aku mungkin sudah ditakdirkan tanpa mahkota.”
Namun di keraton, Belanda yang sudah mencium aroma pemberontakan Pangeran Diponegoro sejak lama sedapat mungkin menjauhkannya dengan pemerintahan. Hingga makin menggelegaknya kebencian ia terhadap Belanda. Dengan berbagai cara Belanda pun membuat makar sehingga pada praktiknya yang mengurusi negara pada Dewan Perwalian hanyalah orang-orang yang pro terhadap kolonial.
“Sudah seharusnya kita menghentikan pembangunan jalan ini, kita tahu akan berapa banyak rumah masyarakat yang terambil, dan berapa banyak umat yang menderita dengan kerja rodi penjajah itu,” ucap Pangeran berapi-api.
“Tapi pembangunannya sudah dimulai Raden Mas, dan kita bisa bayangkan bagaimana makmurnya perdagangan kita ketika jalan itu sudah rampung,” jawab Patih Danuredjo.
“Betul, kita tidak bisa menghentikkannya,” kata beberapa orang yang lain menguatkan.
“Jika begitu keputusan kalian, maka aku berlepas diri dari keputusan itu,” ucap Sang Pangeran ketus sambil berlalu meninggalkan anggota Dewan Perwalian lainnya.
Hubungan Sang Pangeran dengan bangsawan lainnya yang pro kolonial tak pernah akur, dan pada kemudian hari kita akan tahu pentingnya sebuah idealisme di dalam sebuah pemerintahan. Puncak kemarahan Sang Pangeran adalah ketika bulan Mei 1825, jalan yang dibangun untuk menghubungkan Jogjakarta ke Magelang lewat Muntilan ternyata berubah arah dan tepat melintasi daerah yang tidak pernah dikomunikasikan sebelumnya, yaitu Tegalrejo. Patok-patok sudah terpasang di areal makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Seseorang dengan tergopoh berlarian menuju rumah Sang Pangeran, “Raden Mas, Belanda telah memasang patok-patok di atas tanah-tanah kuburan Tegalrejo,” suaranya terengah.
Pangeran dan istrinya pun saling berpandangan kaget sebelum ia mengucap istighfar, “Ini sudah keterlaluan Adinda, biarkan tanganku sendiri yang akan mencabut patok-patok itu.”
“Apa tidak ada jalan lain lagi Kang Mas? Aku takut tindakanmu membawa tanah Jawa pada peperangan,” ucap sang istri khawatir.
“Tanah Jawa memang terlahir sebagai tanah perlawanan, tidak ada yang membuat suburnya tanah ini selain darah para mujahid dan tinta keringat para 'alim,” Sang Pangeran berucap sambil berlalu dengan jubah yang teruntai gagah.
Setelah itu Sang Pangeran mencabut patok-patok tersebut, tapi pihak kolonial memasangnya kembali hingga Sang Pangeran memobilisasi masa guna mencabut patok itu kembali. Sampai pada titik kulminasi terjadilah bentrokan yang akan mengawali sebuah perlawanan terbesar di Tanah Jawa terhadap kolonial.

Tanah Jawa kembali menjadi saksi, terkoyak, dan mungkin kembali mengingat memori buruk Perang Paregreg yang membuat jemawut padi tak mau tumbuh subur di tanah ini. Selama bertahun-tahun sebelum datang Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Perang yang berlangsung satu lustrum ini kelak akan dikenal dengan nama Perang Diponegoro karena front perlawanan secara gerilya dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro, atau Perang Jawa karena skala perlawanan yang sangat besar.
Selama satu tahun pertama Pangeran Diponegoro bergerak nomaden, namun setelah basis militer yang kuat terbentuk Sang Pangeran membuat komando rahasia di Gua Selarong atas saran Pangeran Mangkubumi yang jusru merapat ke front Pangeran dan mencampakkan perintah Belanda. Pacitan dibebaskan 6 Agustus 1825, lalu Purwodadi tanggal 28 Agustus 1825, serta susul menyusul kota lainnya seiring dengan bertambah luasnya perlawanan.

Di dua tahun berikutnya kemenangan demi kemenangan diraih pasukan Pangeran Diponegoro, membuat kerugian Belanda tak terhitung jumlahnya. Hal ini dipermudah karena banyaknya pangeran dan bangsawan yang bergabung ke front perlawanan. Selama perang berlangsung, 15 dari 19 Pangeran bergabung dengan Pangeran Diponegoro belum termasuk bupati dan pemimpin daerah seperti Tumenggung Prawirodigdoyo. Dukungan para ‘alim pun berpihak pada Sang Pangeran menjadikan genap sudah dukungan bagi Sang Pangeran.
Kyai Mojo melihat rona yang berbeda pada wajah Sang Pangeran suatu saat selepas sembahyang, “Wahai Khalifatullah Tanah Jawa, ada gerangan apa yang mengabutkan pikiranmu?”
“Kyai, aku hanya takut apakah sudah benar apa yang aku lakukan ini? Maksudku kita bergelora dengan slogan sadumuk  bathuk,  sanyari  bumi,  ditohi  tekan  pati[1]. Bukankah itu terlalu jumawa Kyai?” jawab Sang Pangeran dengan resah.
“Raden Mas, niat adalah yang tersembunyi dalam hati. Maka luruskanlah niatmu dan niat pasukanmu selalu dalam berjuang. In sya Allah surga menjelang bagi orang-orang yang berjuang di jalan Gusti Allah.”
“Kyai, jika apa yang aku lakukan ini benar, kenapa masih banyak yang memusuhiku? Orang-orang kini memburu kepalaku karena tergiur imbalan Belanda, juga hasil perundingan Pakubawana VI dengan Belanda semakin memperberat perjuanganku.”
“Tak ada yang perlu dirisaukan Raden Mas, barangsiapa yang menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongnya dan meneguhkan kedudukannya.”
Kabar perlawanan Pangeran Diponegoro sampailah kepada Gubernur Hindia Belanda Van der Capellen, sehingga dikirimlah Jenderal De Kock sebagai lawan tanding Sang Pangeran. Karena kekalahan terus dirasakan pihak Belanda dari tahun 1825 sampai 1826, maka jendral De Kock meminta pihak kolonial berinvestasi besar-besaran dengan siasat Benteng Stelsel guna mengimbangi perang gerilya Pangeran Diponegoro.

Benteng Stelsel memungkinkan Belanda dapat mengawasi gerak Sang Pangeran tanpa harus mengejarnya, yaitu dengan membangun benteng di tempat-tempat yang diduduki. Siasat Benteng Stelsel berhasil mempersempit arah gerak pasukan Pangeran Diponegoro secara perlahan.

Satu demi satu Pangeran di front perlawanan pun menyerah, 21 Juni 1827 Pangeran Serang dan Pangeran Notonegoro menyerah di Jogja Selatan. Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Mangkubumi menyerah pada 18 April 1828, disusul pangeran dan tumenggung lainnya hingga akhir tahun 1829 sehingga Belanda memaksa mengadakan banyak perundingan yang gagal.

Awal 1829 jabatan Gubernul Hindia Belanda beralih ke tangan Johannes van den Bosch yang bersikap lebih beringas terhadap segala perlawanan. Ia menggalang bala bantuan pasukan dari Sulawesi, Maluku, Bali, bahkan Eropa guna menghabisi pasukan Diponegoro.

Keadaan yang semakin sulit bagi Sang Pangeran, 17 Februari 1830 Letkol Cleerens menghadap Pangeran Diponegoro menawarkan perundingan di Magelang. Keesokan harinya Pangeran Diponegoro sampai di Magelang dengan berkuda, dan mengusulkan perundingan selanjutnya setelah Idul Fitri yang jatuh tanggal 27 Maret 1830 karena saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Juga jaminan jika perundingan gagal Pangeran Diponegoro diperkenankan kembali ke kediamannya.

28 Maret 1830 perundingan terselenggara di rumah Residen Kedu. Namun kata sepakat tidak tercapai dan Jendral De Kock mengingkari jaminannya, sehingga Pangeran ditangkap ketika hendak meninggalkan meja perundingan. Pada hari itu juga Pangeran diasingkan ke Ungaran kemudian dibawa ke Karesidenan Semarang. lalu diangkut ke Batavia pada 5 April.

Keputusan dari Gubernul Jenderal tanggal 30 April mengharuskan Pangeran dan keluarga dibuang ke Manado 3 Mei 1830 menggunakan kapal Pollux dan ditawan di benteng Amsterdam, lalu tahun 1834 dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar hingga ajal menghampiri hidup mulianya.
***
Hidup Sang Pangeran semakin lama semakin sulit di pengasingan. Karena takut pemberontakan kembali bergelora di Mengkasar maka Belanda membuat Pangeran Diponegoro seperti di penjara. Beliau tak diperkenankan keluar Benteng Rotterdam karena ketakutan bahwa orang-orang akan kembali tergerak untuk melawan ketika merasakan aura Sang Pangeran.

Hidupnya hanya dibiayai 200 Gulden yang hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari sehingga beliau di ambang kemiskinan.
“Di bagian ini akan kuceritakan runtuhnya Majapahit hingga perjanjian Giyanti,” tuturnya kepada juru tulis, “Lalu perjuanganku hingga terhempas di Manado,” lanjutnya dengan nanar.
Babad Diponegoro rampung pada 3 Februari 1832, ditulis dalam aksara pegon dan menjadi sumber epigram Sang Pangeran. Mirisnya semenjak dinyatakan hilang sampai sekarang manuskrip asli tak pernah terlacak lagi, andaikata salinan pun yang bernafsu menyimpan bukanlah anak bangsa. Barangkali bisa kita temukan di perpustakan menara-menara gading di Leiden juga Oxford.
“Raden Mas, kenapa kau masih datang ke tempat mediasi kala itu? Padahal semua orang tahu kemungkinan engkau ditipu sangatlah besar,” tanya juru tulis penasaran.
“Aku takkan pernah mau mengotori darahku. Orang Jawa tak pernah melanggar janji,” papar Sang Pangeran tegas.
 Belanda telah menghabiskan 20.000 gulden hanya untuk membiayai perang ini, sebanyak 8000 tentara pihak kolonial tewas dan sekitar 7000 serdadu pembantu meregang nyawa. Tanah jawa begitu letih, diperkirakan dua juta rakyat menderita akibat perang, 200.000 prajurit pribumi menjadi korban, dan seperempat luas lahan pertanian rusak berat.

Di belahan Nusantara yang lain untuk menutupi kebangkrutan kas tersebut kolonial menerapkan sistem tanam paksa, namun cultuurstelsel tak diterapkan di daerah kerajaan tanah Jawa. Kiranya Belanda sudah kapok dan takut menghadapi Diponegoro baru di Vorstenlanden jika kembali menekan.
“Berikanlah pesan yang ingin Raden Mas tinggalkan dan untuk diingat semua orang.”
Lembabnya ruang berjeruji besi di Bastion Bacan yang terletak di sudut barat daya Benteng Rotterdam menjadi saksi hembusan napas terakhir seorang mujaddid. Sudah lama Sang Pangeran pergi, tetapi gelora dan visinya akan terus hidup terbawa angin muda pesisir pantai Pulau Jawa, melarung bersama turbulennya aliran sungai ke Samudera Hindia, dan melangit menuju puncak-puncak tertinggi Indonesia.

Lalu seperti yang terarsip pada sebuah surat Jenderal Hendrik Merkus De Kock mengutip kata-kata terakhir dalam bahasa Jawa dari seseorang yang dikaguminya itu.
“Jangan menjelekkan orang baik, dan jangan membaikkan orang jelek, serta jangan aniaya terhadap orang banyak,” suara Sang Pangeran menggema. Menembus berkas-berkas cahaya hingga abadi menuju langit.


[1] sejari kepala, sejengkal tanah, dibela sampai mati

Comments

  1. “Jangan menjelekkan orang baik, dan jangan membaikkan orang jelek, serta jangan aniaya terhadap orang banyak,” Quotesnya keren kang 👍 Sesuai dengan realita 'zaman now' banyak orang yg melakukan hal tsb terutama orang orang berdasi yg duduk di pemerintahan sana.
    -Algan

    ReplyDelete
  2. Mantep kang, sosok pangeran Diponegoro sangat menginspirasi. Semangat perjuangannya membela tanah Jawa sangat patut dicontoh oleh kita semua.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, tapi kalau aku boleh kasih tahu, sebenarnya dia dicampakkan oleh tanah yang ia bela. Beberapa orang masih berpikir, apa Diponegoro itu pahlawan, atau hanya pembelot keraton? 😅

      Delete

Post a Comment

Popular Posts