Haji-haji Revolusioner
Hadji
Oemar Said Tjokroaminoto
Waktu
adalah misteri yang menjebak kita di muka bumi ini, ia menjadi wadah setiap
rentetan kejadian dan peristiwa sehingga manusia seakan sedang menjalani sebuah
takdir dalam jangkauan jatah waktunya masing-masing. Membuang waktu dengan
percuma akan membuat kita tak berharga, sebab ia tak bisa diulang kembali.
Siapa yang mampu mengisi jatah waktunya dengan iman dan amal maka pantaslah ia
menjadi orang yang terhindar dari kerugian tersebut sepanjang zaman.
Adalah
bulan Dzulhijjah, bulan yang dipilih oleh Allah untuk menyeru semua manusia
menikmati jamuannya ke Baitullah, menapaki kisah mulia Ibrahim As. dan
keluarganya sehingga terpatrilah dalam sanubari rukun Islam yang terakhir ini
adalah kesatuan ibadah gerak jasad, kepekaan hati, dan kemampuan akal
bertafakur. Serta Agustus, dimana penanggalan masehi mencatat tahun 1945 sebuah
bangsa bebas dari penjajahan Kerajaan Protestan Belanda, dan bangsa itu ialah
Indonesia. Maka semangat dua bulan ini akan menggores tinta emas pada sejarah
dunia, sebab haji dan semangat revolusi ternyata saling berkelindan kait
mengait.
Tersebutlah
seorang keturunan bangsawan yang sebenarnya mampu hidup berkecukupan sebagai ambtenaar, namun kesewenang-wenangan yang
ia lihat sendiri di kebun kapas dan keprihatinan melihat masyarakat yang hanya
mampu menjadi penyeduh teh bagi para penjajah membuat ia memutuskan pergi
mengambil tindakan. Untuk itu langkah pertama ia butuh semangat, dan ia ambil
semangat itu dari sumber yang tak pernah padam. Ia jawab seruan Allah untuk
menghadapkan wajahnya di depan Ka’bah, kendati sebelum berangkat pertikaian
sengit dengan mertuanya sempat membuat ia gamang. Tetapi berhaji membuka
matanya, tentang bagaimana keragaman bangsa di dunia ini bisa disatukan oleh
akidah yang fitrah: Islam. Ia melihat berbagai warna kulit, tinggi-besar,
semuanya bersatu padu dan tumpah ruah pada ketaatan. Ia menyadari agama ini
lahir sebagai pembebas, maka tak boleh satu jengkal pun tanah Allah dirusak dan
manusianya ditelantarkan. Ketika pulang ke tanah air, ia menjadi pentolan
haji-haji yang dianggap berbahaya bagi Kolonial. Dengan haji yang lain yaitu
Haji Samanhudi ia akan mendirikan perserikatan pertama yang menjadikan bahasa Melayu
sebagai bahasa organisasi, dan organisasi pertama -Sarekat Islam- yang dengan
jelas menyatakan sikap tidak mau kooperatif terhadap Kolonial. Ia adalah guru
bangsa: Haji Oemar Said Tjokroaminoto, murabbi bagi para pendiri negara ini di kemudian
hari.
Ada
pula haji yang ketika pulang mengobarkan perlawanan terbesar terhadap Kolonial
di tanah Jawa. Bukan hanya menjadi penasehat para pangeran, tetapi menjadi
wakil dan panglima utama Pangeran Diponegoro. Ia adalah Kyai Haji Mojo, ibunya
adalah saudara Sultan Hamengkubuwana III, namun sejak kecil ia berada di luar
keraton dan besar di ladang dakwah. Selepas berhaji dakwahnya begitu
berkembang, sehingga banyak sekali pengikutnya. Ia bercita-cita suatu hari
nanti tanah Jawa akan terpimpin dengan mulia, di bawah naungan syariat Islam,
berlandaskan Qur`an dan Sunnah. Namun cita-cita itu hanya bisa ia wariskan,
sebab di tengah Perang Diponegoro ia ditangkap dan diasingkan ke Tondano,
Sulawesi Utara.
Tertulis
juga trio haji yang dakwah sunnahnya merebak di Sumatera Barat, merekalah yang
dengan tegas membasmi praktik kesyirikan di tanah Minang. Dari bimbingan mereka
lahirlah Tuanku Imam Bonjol yang akan memimpin perlawanan rakyat Minangkabau
dan Perang Padri jilid III terhadap Kolonial, dan menjadi perekat dengan kaum
adat. Trio haji ini adalah Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik, sebelum
pulang ke ranah Minang mereka mendalami ilmu di Al-Azhar lalu di Mekah sembari
berhaji. Ketika pulang, dakwah trio haji ini pada akhirnya mendapat pengakuan
dari kaum adat, seperti hasil konsensus ‘Plakat Puncak Pato’ yang berisi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah atau Adat (Minangkabau) berlandaskan kepada Syariat Islam, dan
Syariat Islam bersendikan Kitabullah.
Maka
adanya gelar ‘Haji’ bagi yang sudah berhaji ke Mekah mulai dimarakkan oleh pemerintahan
Kolonial, karena mereka melihat kecenderungan orang yang sudah berhaji akan mengobarkan
semangat revolusi nantinya. Sehingga ketika setiap orang yang sudah berhaji
menyandang gelar ‘Haji’, akan semakin mudah mereka dicari keberadaannya dan diawasi
pergerakan dakwahnya. Dan gelar ‘Haji’ ini pun sampai sekarang tetap masyhur
dipakai di negeri ini, hanya saja tak ada lagi semangat revolusi yang dibawa
selepas pulang dari perjalanan suci itu. Yang ada sekarang para haji hanya
membawa berkoper oleh-oleh yang mungkin saja tidak dibeli di tanah suci justru
di Tanah Abang. Ironi. Sungguh ketika negeri ini membutuhkan para haji yang
revolusioner, para ‘alim yang juga punya semangat berjuang, kebanyakan dari
kita hanya menjadikan momen naik haji hanya menjadi upaya membuang sial, atau
hanya membuang uang. Sebab banyak kita melihat di negeri ini orang yang
berkali-kali naik haji tetapi tetangganya masih banyak yang tak mampu membeli
nasi. Sungguh, tanah-tanah bumi kita sangat merindukan haji-haji yang revolusioner,
dan sejarah kemanusiaan pun tak sabar menunggu mereka hadir kembali.
Joss
ReplyDeleteMantap
DeleteO:)
ReplyDeleteGood
ReplyDeleteMantap
ReplyDeleteTerbaiksss
ReplyDeleteHaha
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete