Nasionalisme Kita
Maracanazo
sumber:
fifa.com
Pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan adalah pelajaran yang
paling ditunggu saat sekolah dasar, sebab biasanya kita bisa pulang lebih cepat
dan kemampuan mencipta kita diberi tempat setelah banyak mata pelajaran
diharuskan hanya menerima. Pernah suatu kali ketika pulang pasca kegiatan
menggambar, ayah mendapati nilai bagus di kertas gambarku, tetapi aku justru
diceramahi. Gambar yang terlukis adalah bendera merah putih berkibar lengkap
dengan tiangnya kalau tidak salah, di batas warna merah dan putih kugambar
sebuah kujang emas yang sering kulihat di gapura Brigif 15 Kujang II Cimahi dan
di bawah itu aku beri judul tegas: Negara Pasundan. Bapakku mungkin berpikir
anak SD akan membuat makar dengan jalan membangkitkan kebanggaan etnosentris,
tetapi toh dia juga yang menjejaliku dengan kisah Raden Kyan Santang atau
Perang pengkhianatan tak berimbang di medan Bubat hingga aku membenci Gajah
Mada. Intinya aku dikasih tahu untuk menghargai pengorbanan para pahlawan dan
mempertahankan negeri ini saat itu. Miris memang ketika besar justru aku
dihadapkan pada sebuah fakta bahwa bisa jadi bangsa kita sendirilah penjajah
itu, karena toh para menak, para bangsawan korup, para ambtenar songong masa kolonial itu kebanyakan pribumi juga. Mungkin
bisa salah, tapi yang pasti tidak semua menderita, kadang ada juga pribumi yang
bermental sok penguasa. Kalau orang semacam itu masih bisa kita lihat hingga sekarang
ini.
Bung Karno –kita sepakati sajalah- sebagai Pemimpin Besar Revolusi
menulis pada Di Bawah Bendera Revolusi, “Nasionalis
yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan timbul semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme
barat akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan.” Maka
sebenarnya nasionalisme pada hakikatnya menembus batas wilayah-wilayah yang
ditentukan van Mook di wilayah Nusantara atau yang disepakati Sykes-Picot di
kawasan Timur Islam, ia adalah suatu penghayatan bahwa tidak boleh satu jengkal
tanah di bumi ini ditelantarkan manusianya. Rasa itu akan menjadikan para nasionalis
adalah orang yang menolak kolonialisme apapun itu bentuknya. Jika kita lihat
realitas saat ini, dimana definisi ialah milik penguasa maka kita tak bisa
menghakimi kerancuan dan kesalahan masyarakat dalam memaknai suatu istilah.
Kadang ada istilah yang sengaja dibangun dan dijejali dengan konotasi tertentu
demi kepentingan rezim. Seperti peninggalan Orde Baru bahwa kita menjadi mafhum
memaknai pembangunan adalah
penggusuran rumah dan perataan kios, serta penertiban
ialah pengusiran dan perbuatan mengenyahkan manusia dari tempat yang
pura-puranya punya negara.
Lalu dengan skema yang sama, definisi nasionalisme menjadi senjata
baru yang mengerikan. Golongan yang tidak sejalan mudah sekali dicap tidak
nasionalis atau tidak pancasilais. Stigma itu membuat ada semacam monopoli
berpikir yang ketat, ada sebuah penjajahan baru lewat alam bawah sadar. Siapa
saja yang berani mengambil definisi lain yang tidak ditentukan penguasa,
siap-siap bui menjadi tempat istirahat selanjutnya. Maka sebenarnya apakah kita
sudah merdeka? Minimal untuk jujur pada diri sendiri dan berhenti memuji
citra-citra artifisial yang sudah mulai lapuk ini.
Konferensi Asia-Afrika: Gerbang
Pembebas dari Jerat Kolonialisme
sumber:
goodnewsfromindonesia.id
Seperti halnya yang kita pelajari dari sejarah bahwa nasionalisme
lahir akibat penjajahan Kerajaan Anglikan Inggris, Kerajaan Protestan Belanda,
Kerajaan Katolik Portugis dkk. kepada bagian dunia lainnya yang lebih melimpah
dan subur. Pada awalnya ia adalah proyek pemecah belah negara-negara yang hidup
serumpun di berbagai jazirah dan anak benua yang sudah nyaman hidup dalam satu
tatanan yang lalu kemudian terjajah. Tetapi bagai bumerang justru kemudian
kesadaran kepada kemanusiaan inilah awal kehancuran kolonialisme keparat itu,
bangsa-bangsa yang sadar akan kesamaan rasa senasib sepenanggungan menjadi
bangkit melawan. Seperti hal itulah, alkisah nanti perdamaian akan tercipta dan
mungkin saja nasionalisme pada saat itu sudah tidak sepenting sekarang ini atau
saat kolonialisme menjerat dunia dulu. Lalu definisi nasionalisme kita terhadap
manusia dan kemanusiaan akan paripurna, terlepas dari wilayah-wilayah imajiner
yang entah ada entah tiada.
***
Pertandingan antara tuan rumah Brazil dan Uruguay adalah laga
penentuan juara Piala Dunia 1950, bermain di negeri sendiri tentu Brazil
diunggulkan, Estádio do Maracanã di
kota Rio de Janeiro menjadi saksi begitu tumpah ruah masyarakat Brazil menyaksikan
laga ini. Tetapi pertandingan ini akan dikenang sebagai Maracanazo atau Tamparan Maracana karena hasil akhir pertandingan
justru membuat Uruguay keluar sebagai kampiun saat itu. Tapi bukan itu titik
tragedinya, dikabarkan setelah itu para jurnalis memilih pensiun dini karena
tidak kuat menulis kenyataan kekalahan ini pada koran-koran dan banyak sekali
warga Brazil yang bunuh diri karena saking sedihnya, serta muncul isu kutukan
terhadap penjaga gawang berkulit hitam menyusul kegagalan Moacir Barbosa yang
negro dalam menahan dua kali tendangan ke sisi kiri gawangnya dari Juan Alberto
Schiaffino & Alcides Edgardo Ghiggia. Apakah itu bentuk ekspresi tertinggi
nasionalisme warga Brazil atau hanya ilusi solidaritas dan kebanggan terhadap
sesuatu yang sebenarnya tidak prinsipil?
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletekunjungan balik!
ReplyDeleteayo, nulis lagi dong!
Wah suatu kehormatan dikunjungi Mba Sekar 🙌 ayo nulis Mba!
Delete