Senyum Yuri
Suasana di kelas mendadak menjadi riuh
rendah. Bu Anan sedang berdiri di depan kelas dan mendekap beberapa lembar
kertas. Lalu perasaanku menjadi tidak enak padahal matahari yang sudah mulai
meninggi baru saja terasa hangatnya.
“Anak-anak, untuk agenda peringatan
Bulan Bahasa tahun ini, akan diadakan pentas teater sekolah. Dan pemerannya dicampur
dan diajukan dari setiap kelas. Tetapi untuk pemeran utamanya telah dikocok di
depan para wali kelas, dan kelas kita mendapatkan bagian pemeran utama
laki-laki.”
Suasana kelas menjadi bertambah bising.
Ilham, si ketua kelas menaikkan tangan kanannya dan terlihat dahinya
berkeringat.
“Yang pasti jangan Ilham, Bu. Aku hanya
pandai bermain kasti dan tidak pernah punya nalar seni.” Kali ini, pria berambut
cepak persegi itu tidak mengambil inisiatif di kelas, tidak seperti pada hari
dan hal lain.
“Apa sudah ditentukan judul atau naskah
drama yang akan ditampilkan, Bu?” tanya Yuri halus.
“Sudah, yang akan ditampilkan adalah
drama Romeo & Juliet, gubahan William Shakespeare.” jawab Bu Anan
menjelaskan.
Sial, apa yang bisa dijelaskan dari
kisah dua orang naif yang mati konyol itu? Hah, Yuri? Jika tentang Yuri mungkin
aku bisa bantu jelaskan. Dia wanita berkulit putih, sangat bersih mungkin
seperti porselen. Rambutnya hitam terurai, namun mendekati ujungnya, rambut itu
meliuk seperti menari. Sangat indah, mungkin inilah definisi mayang mengurai.
Hidungnya penuh, tidak terlalu mancung. Matanya bulat, coklat, dan ketika
tersenyum seakan ia memang sengaja memejamkannya. Entah kenapa, senyumnya itu
yang membuat aku selalu salah tingkah di hadapannya. Apa itu pengaruh giginya
yang gingsul sehingga senyumnya menjadi sangat manis, atau memang karena faktor
kebodohanku saja. Ah, seakan aku melihat Scarlett O’hara dari dekat bila aku
memandang Yuri.
“Pilih Romi saja, Bu! Katanya kan dia
banyak membaca karya-karya sastra. Pasti dia jago acting juga tuh!” tukas Deden membuyarkan lamunanku.
“Betul, Bu! Dia juga kan juara cipta
puisi tahun lalu.” Seru Oyib menguatkan Deden, tetapi nadanya terdengar
mengejek bagiku.
Dua sohib ini memang terkadang
menggangguku, puncaknya bulan kemarin saat kami terlibat perkelahian. Aku lupa
perkara apa, saat itu dua pelipis mata mereka kubuat memar berdarah, dan mereka
mematahkan tulang hidungku. Semenjak itu kukira mereka akan berhenti. Mungkin
sehabis kelas ini bisa jadi kejadian itu berulang.
Setelah pernyataan Oyib, seisi kelas
memandangku.
“Apa kamu bersedia Romi jadi Romeo
mewakili kelas kita di pentas teater nanti?” Bu Anan dengan kejam menodongku.
Seluruh badanku berkata tidak.
Sedangkan aku baru meyadari bahwa Yuri pun sejak tadi memandangku, aku arahkan
pandanganku padanya. Dan dia pun tersenyum. Ah sial, ini terjadi lagi.
Senyumnya itu seakan menyiratkan sebuah harapan, “Ayo Romi, kamu bisa!” sekelebat
hayalku mendengar Yuri berbisik. Aku menelan ludah dan aku tidak tahu bagaimana
air mukaku saat ini.
“Baik, Bu. Akan Romi coba.” jawabku
terbata-bata.
Seisi kelas menjadi bersorak. Dasar
teman-teman tak tahu diri! Aku yang harus menjadi tumbal atas kemalasan kalian.
Ilham mendekat dan menyalamiku tanda lega. Deden dan Oyib terbahak di
bangkunya. Sedang Yuri tertawa kecil lalu tersenyum lagi kepadaku. Aku hampir
pingsan melihat semua ini, tenggorokanku terasa tercekat karena menahan gugup.
Aku tak tahu apa yang akan terjadi kemudian, sebab sama sekali aku tidak pernah
berbakat beradu peran, bahkan sejak kecil aku akan menjadi pohon kalau
teman-temanku bermain peran lalu membaginya. Ah sial! Tuhan tolong hambamu ini.
mengapa romeo dan juliet yg diangkat disini gi?
ReplyDeleteNanti juga tahu😅
DeleteApakah terinspirasi pengalaman pribadi?😂
ReplyDeleteNext.
Haha bisa jadi
Delete