Pembuktian si Anak Rantau
sumber: dokumen pribadi |
Pemuda itu sudah memakai baju
bersetrika dan jas tutup, serta celana pantalon panjang. Sabtu petang memang
salah satu waktu terbaik menikmati Bandung. Ia mulai jalan kaki dari Cihapit,
makan sate Madura di kedai Madrawi depan kantor polisi, lalu berkeliling
sebentar di Pasar Baru. Selepasnya ia bersengaja mengambil rute pulang melewati
Savoy Homann. Di depan sana ia mendengar lantunan orkes hotel yang selalu
megah. Lagu demi lagu yang dimainkan dengan gesekan biola itu membuatnya ingin
kembali berlatih biola. Namun untuk sementara waktu hobi yang satu itu harus ia
tahan, sebab masih ada ambisi yang perlu dikejar. Selain angka 9 untuk Bahasa
Latin, guru Belanda AMS yang sinis itu sedang memberikannya tantangan.
Masih segar di ingatannya, guru itulah
alasan utama ia ikut lomba deklamasi puisi di sekolah. Konversasinya yang tidak
lancar membuatnya sering diejek oleh sang guru yang Belanda totok. Akhirnya
karena jengkel ia berlatih habis-habisan mengejar ketertinggalan dalam
menguasai bahasa Tanah Rendah itu, kendati akan sangat memakan waktunya. Saat
hari perlombaan tiba, ia pilih membaca syair berjudul De Banjir karya pengarang
yang memiliki nama pena Daljono Multatuli. Pengarang itu pula yang menulis Max
Havelaar, sebuah buku yang akan menjadi gerbang politik etis. Ia bacakan puisi
itu dengan sangat memukau, buktinya selepas berdeklamasi tepuk tangan penonton
terdengar riuh sekali. Di salah satu sudut penonton, sang guru Belanda itu
ternyata juga ikut bertepuk tangan, walau agak lambat dan terlihat enggan. Di akhir
perlombaan keluarlah pemuda itu sebagai juara pertama dan berhak mendapat
hadiah buku Westenenk. Memang kelak ia akan sangat fasih menuturkan banyak
bahasa asing.
Tidak hanya di perpustakaan AMS Bandung
pemuda itu selalu tenggelam pada buku-buku. Sudah sejak HIS dan MULO: sekolah
sebelumnya di Padang, ia memang terkenal gandrung membaca. Tapi akhir-akhir ini
ia harus lebih keras bekerja. Sebab tempo hari saat kelas 5 AMS, ia kembali
bertemu sang guru Belanda yang mengajar
ilmu bumi ekonomi. Di dalam kelas dengan gaya sinisnya, sang guru mengumumkan
tantangan bagi siapa saja murid yang berani membahas masalah pengaruh penanaman
paksa tebu dan pembangunan pabrik gula di Pulau Jawa. Kendati tantangan itu
ditujukan bagi seluruh murid dalam kelas, tapi setiap murid tahu kepada siapa
sebenarnya tantangan itu ditujukan. Dan seperti sebuah jebakan bagi jiwa
kebangsaan pemuda yang sedang berkobar, maka hanya pemuda itu yang mengacungkan
tangan. Sebuah tanda bahwa ia bersedia menerima tantangan.
Saat pertama-tama memang terlihat
pemuda itu agak kelimpungan karena tenggat waktu yang diberikan hanya dua
minggu. Di mana ia bisa mencari data-data untuk makalahnya? Sedang saat itu
akses informasi belum mengglobal seperti sekarang. Maka pergilah ia ke
bibliotik Gedung Sate. Dibukanya notulen-notulen perdebatan di Volksraad, ia
kumpulkan fakta dan statistik dari corong-corong media kaum pergerakan yang
sedang bersemi di Bandung saat itu. Dan voila! Hasil kerja kerasnya tak
sia-sia. Makalah itu siap disajikan seperti kue jahe yang baru diangkat dari
oven. Hangat sekaligus panas.
Ia bacakan hasil analisisnya kurang
lebih 40 menit dalam kelas. Dengan data yang ia kumpulkan, pemuda itu
membuktikan kebanyakan masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur tak mendapat
keuntungan dari pabrik gula dan penanaman paksa tebu. Tak terbantahkan bahwa
keuntungan paling banyak mengalir ke saku para kapitalis Belanda dan
bupati-bupati sialan. Orang-orang itulah yang menekan rakyat agar mau
menyewakan tanah-tanahnya kepada Belanda dengan harga rendah. Sehingga secara
tidak langsung tanah-tanah mereka dirampas karena harga sewa dibayar semaunya,
rakyat semakin banyak yang terlilit hutang, dan terpaksa menjadi buruh terikat
berupah rendah.
Kelas itu menjadi hening, saat remaja
laki-laki itu menerabas fakta-fakta penjajahan yang ada selama ini dengan amat
piawai. Guru Belanda itu menganga tak percaya, bahwa ada bocah kelas 5 AMS yang
sekarang setara dengan kelas 2 SMA bisa menganalisis sedalam itu. Kebencian
sang guru pada pergerakan politik kemerdekaan memuncak, namun air mukanya
menjadi ciut lalu kuyup pertanda psikisnya telah kalah oleh pembuktian si anak
rantau.
Kenapa bocah laki-laki yang dibesarkan
dengan bersahaja itu bisa sangat cemerlang. Padahal keluarganya bukanlah
pegawai terpandang yang tentu sedikit pendapatannya, dimana mengumpulkan kayu
bakar adalah pekerjaan wajib saat ingin memasak bahan makanan. Memanglah itu
yang membuatnya menjadi seorang pekerja keras.
Bahkan kita kelak akan melihat pemuda
itu bertransformasi menjadi seorang Perdana Menteri yang tetap bersulam tambal
jasnya. Perdana Menteri yang lebih memilih naik sepeda bersama supirnya. Saat
Indonesia terpecah-pecah pun menjadi serikat pasca Konferensi Meja Bundar,
pemuda ini pula yang nanti dengan berapi-api menyodorkan solusi atas melaratnya
rakyat pada awal-awal masa revolusi di depan Dewan Rakyat. Ia menyerukan
pentingnya negara kembali bersatu padu menjadi sebuah kesatuan tunggal: Mosi
Integral.
Saat sang proklamator mulai kehilangan
kontrol dengan sentralisasi a là PKI sehingga rakyat di luar Pulau Jawa mulai
terabaikan, pemuda itu kembali ke Andalas. Mencoba mengingatkan pemerintah
pusat bahwa Jawa memang kunci, tapi Indonesia bukanlah Jawa. Kendati selepasnya
ia direpresi habis-habisan. Bagaimana rasanya dipenjarakan oleh bangsamu
sendiri yang telah kau perjuangkan sepanjang hayatmu?
Bagi dunia Islam pemuda itu adalah
mujadid. Pembaharu yang membawa angin segar pada kejumudan semangat beragama.
Maka tak heran saat Henry Kissinger justru disambut dengan muka masam oleh Raja
Saudi saat itu: Raja Faisal. Justru pemuda ini disambut bak kawan lama. Raja
Faisal berdiri menyongsong kedatangannya, menyalami, dan memeluknya. Penuh
haru. Sang Raja pulalah yang berteriak-teriak agar pemerintah pusat membebaskan
si pemuda rantau saat ia dipenjara. Raja Faisal seakan sedang menitipkan sebuah
peradaban yang tidak bisa lama-lama ia tatap. Sebab peluru-peluru musuh selalu
memburu tubuh para mujahid.
Bagi Indonesia, kelak pemuda rantau ini
kita akan cium harum namanya dalam tinta emas sejarah. Tidak hanya jalanan
Bandung yang akan merindukannya tetapi seluruh langit nusantara merindukan si
pemuda rantau itu. Pemuda yang membuktikan penjajahan tidak membuat seseorang
menjadi rendah. Pemuda yang menjadi pembuktian bahwa bangsa kita setara dengan
bangsa lainnya yang ada di mayapada. Si anak rantau itu adalah Mohammad Natsir.
Keren Bro
ReplyDeleteBravoo Gii
ReplyDeleteLanjutkan Mujahid..