Surat Untuk Sahabat Pena
sumber: google.com
26 Februari 2016
Tujuan
surat yang budiman,
Adalah suatu yang cukup dilematis
untuk membalas suratmu tempo hari, bukan karena yang tertulis di dalamnya, tapi
karena aku baru menyadari siapa sahabat penaku selama ini. Maksudku faktanya
kita bisa bertemu hampir setiap hari di sekolah kendati beberapa bulan lagi
mungkin kita akan terpisah.
Aku jadi agak bingung. Apakah kita
harus menempatkan kebutuhan kita menulis surat atau menjadi orang yang dalam
kehidupan sehari-hari memang telah saling mengenal. Unpredictable destiny. Bagaimana menurutmu?
Pandanganku tentang bagaimana sahabat
pena memang klasik saja: orang yang kita kenal hanya lewat tulisan tangannya
yang termuat dalam bertumpuk-tumpuk kertas, sejatinya hanya bisa dijangkau oleh
dan dengan surat. Tapi mungkin keinginanku untuk mengenalmu dengan sederhana takkan
bisa lagi sepenuhnya terjadi.
Aku bisa pastikan akan ada terlalu
banyak kepentingan bila kita menulis kepada orang yang telah kita kenal,
menyuratimu mungkin takkan bisa semurni dulu lagi. Entahlah, aku mungkin akan
kembali kepada alternatif penulisanku yang paling purba, jika tak menulis di
batang pohon mangga mungkin aku akan memenuhi lagi catatan harianku yang sudah
jejal. Tapi jangan salah sangka, meja tulisku selalu terbuka untuk membalas
surat-surat darimu, dan kuharap seperti itu juga dirimu. Namun seperti yang
sudah aku katakan, rasa dari surat-surat kita mungkin akan bernada berbeda.
Jujur saja aku sudah malas dengan hal-hal seperti ini. Terlalu menyita
perasaan.
Jika harus menjelaskan minat hanya
satu hal yang bisa kupastikan, aku suka membaca. Mungkin juga dirimu. Maka aku
akan sangat senang jika kau mau berbagi cerita mengenai pengalaman membacamu.
Kita bisa mulai dengan novel-novel terkenal, atau buku-buku laris.
Mendiskusikan buku yang telah kita baca dapat meningkatkan bentuk apresiasi
kita dan pemahaman terhadapnya.
Bersama ini aku kirimkan juga sebuah
kartu pos dari sepuluh buah totalnya yang kupunya, karena telah terlalu lama di
meja tulisku. Aku membelinya beberapa bulan yang lalu, saat aku dicemooh oleh
beberapa pegawai baru kantor pos ketika ingin mengirim sebuah surat dengan
perangko seharga 3.000. Alih-alih ditawarkan kilat khusus seharga 7.500, aku
malah disuruh mengirim via pesan singkat elektronik, dalam beberapa hal aku
memang tak terlalu tanggap pada teknologi, tapi tak ada yang harus
diperdebatkan seharusnya soal selera. Betapa malangnya mereka bila kuceritakan
Daendels menyambungkan jalan raya dari Anyer hingga Panarukan hanya untuk
perkara kirim mengirim surat. Ah, semakin banyak pelayan masyarakat yang buta
sejarah.
***
Kartu pos lusuh tak berperangko bergambar panorama
Tangkuban Perahu, kulipat dua dan kumasukkan ke dalam amplop yang sama. Biarkan
ia bercerita kegelisahannya.
Tujuan
surat yang budiman,
Dulu
memang akan lebih seru, ketika orang ramai-ramai berburu kartu pos dari berbagai
kota. Tak jarang kartu pos adalah representasi dari daerah yang kita datangi
berupa gambar dan kata-kata yang termuat singkat di dalamnya. Namun mungkin
juga ‘kau rasakan betapa sulitnya mengirim surat sekarang ini. Ketika buku-buku
mulai diganti oleh layar-layar digital, dan tulisan tangan yang lentik mulai
tertinggal oleh ketikan komputer yang seragam. Tapi sesuatu yang asli akan
memberikan rasa tersendiri yang tak bisa diganti. Menulis surat memertajam nalar
juga melatih kebahasaan kita.
Salam,
Gian Bakti Gumilar
Galakan lagi surat melalui pos
ReplyDeleteSudah terbiasa menjadi yang spesial sedikit karena tadinya pun berasal dari yang sedikit dan pastinya spesial