Firasat Angin



sumber:dokumen pribadi

2 Oktober 2016
“Seonggok kemanusiaan terkapar. Siapa yang mengaku bertanggung jawab? Bila semua pihak menghindar, biarlah saya yang menanggungnya, semua atau sebagiannya...”
-Syaikhut Tarbiyah, Rahmat Abdullah
            Langit hari ini terlihat sendu, senja pun buram beringsut. Kutengadahkan kepala menentang horison yang terhampar, menatap mega-mega yang luas tapi tetap diam, aku gamang. Adakah langit akan menangis hari ini, menghujani bumi yang telah tua dan mulai sakit-sakitan, aku bersama beberapa buku di tasku hanya terpaku, gamang melihat langit yang diam namun seakan berbicara dalam bahasa yang satu. Aku merasa seperti Santiago yang kebingungan di Tangier.

Tapi domba-domba itu mengajarinya sesuatu yang lebih penting: bahwa ada bahasa di dunia yang dimengerti setiap orang, bahasa yang digunakan si bocah sepanjang waktu saat dia mencoba mengembangkan hal-hal baru di toko kristal itu. Itulah bahasa gairah, menyangkut hal-hal yang dicapai dengan rasa cinta dan niat, dan sebagai bagian dari ikhtiar mencari sesuatu yang diyakini dan diinginkan. Tangier bukan lagi kota asing, dan dia merasa bahwa, sebagaimana dia menaklukkan tempat ini, dia sanggup menaklukkan dunia.

Ada hal yang ikut kurasakan dari desau angin yang meniup dahan-dahan pohon pisang hingga bergoyang, ah angin memang kurir yang paling kupercaya sejak lama. Penyambung firasat yang sesungguhnya, bukankah genderang perang pun terbawa oleh angin? Manusia memang tercipta paling sempurna, hanya saja mereka kurang banyak belajar dari angin.
            Hari ini, kutatap meja tulisku lekat-lekat, entah aku harus berduka atau bahagia. Kucoba periksa kembali stimuli-stimuli apa yang membuatku sejauh ini, dan pembenaran-pembenaran mulai menyeruak dalam pikiranku, mungkinkah karena hatiku yang memang benar-benar sudah lurus niatnya, mungkinkah aku masih berjuang karena sesuatu hal yang fana, atau apa, atau bahkan tak ada yang kuinginkan.
Kata Prof. Beerling seseorang hanya dapat hidup selama masih punya harapan-harapan. Tapi sekarang aku berpikir sampai di mana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa.2
Cinta, adalah kesimpulan yang sampai saat ini memuaskanku. Memang aku mencintai jalan ini, jalan yang entah kenapa membuat banyak senyuman, tentang perbaikan-perbaikan hidup, perbaikan-perbaikan peradaban, dan perbaikan-perbaikan wajah kemanusiaan. Dan itu juga yang mungkin dirasakan banyak orang, yang membuat mereka tetap yakin, yang membuat mereka tegar dalam cobaan, bahkan jika semua orang meninggalkan jalan ini, akan tetap ada orang yang tertatih bertahan: aku.
            Namun masalahnya lokomotif haruslah gerbong yang siap mengeluarkan asap, menerjang salju dengan badannya, tetap melaju di tengah malam, dan membelah kesunyian daerah-daerah tujuan, karena dia tahu apa yang ia bawa serta seberapa besar amanah yang ia emban. Sedangkan angin itu penyendiri, ragu-ragu, dan sulit ditebak. Ketika bangsa ini berada di awal kemerdekaan, dan pucuk pimpinan adalah hal yang darurat dan sangat genting untuk segera diputuskan, ada banyak tokoh yang muncul, dan mengerucutlah pada dua tokoh yang begitu sentral: Bung Karno dan Bung Hatta. Salah satu orang itu adalah agitator ulung sejak mudanya, penuh perhatian pada rakyat seperti kepada Pak Marhaen, orang yang selalu tampil di depan dan begitu menggelora ketika berbicara. Yang satu lagi orang yang membawa berkoper-koper buku disaat kepergiannya untuk menyelesaikan studi, orang yang rela dipenjara asalkan dengan buku-buku, pemikir hal-hal kecil ketika teman sejawatnya berpikir besar ke depan. Dan jelas saja orang-orang akan memilih yang mana, dan memang dalam sejarah para agitator selalu didampingi para penasehat, walaupun mereka kadang tak sejalan. Aku berjalan dan tetap gamang, angin dengan garang menerpa ujung-ujung rambutku. Awan pekat mulai terkumpul, ritme hujan rintik seakan merasai apa yang sedang bergejolak di pikiranku. Begitu melankolik.
          Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang yang bertanya kenapa.3
            Pernah beberapa kali aku mengalami kondisi seperti kondisi Bung Hatta. Pernah beberapa kali kukeluarkan apa yang ada di pikiranku walau dianggap terlalu idealis. Tapi apakah aku harus menggubris rumor? Sebenarnya siapakah yang berhak memvonis kita? Apakah aku harus menjelaskan perbedaan idealis dan perfeksionis? Dan pada dasarnya kitalah yang membatasi diri kita. Kita: satu-satunya orang yang bertanggung jawab men-drive hidup kita. Sebenarnya apa yang menghalangi angin untuk berhembus kecuali kemauan dirinya dan titah Allah Swt.? Di satu sisi ketakutan-ketakutan kita tentang pengabaian, penghinaan, dan ketidakmampuan begitu kuat terasa. Dan anginlah memang yang paling tulus membawa segalanya, tak pernah ia bertanya mengapa ia harus membawa begitu banyak kondensat air dari bumi menuju kahyangan, meniupi ombak hingga sampai ke daratan, selalu fokus pada pekerjaan walau terabaikan dan terlupakan. Apakah sudah saatnya orang introvert memimpin? Mungkin kertas-kertas sudah terlalu jejal untuk kutulisi, dan wangi buku baru sudah mulai bosan kuhirup setiap hari. Adakalanya angin harus bertentu tuju, membantu menyemai tunas-tunas dandelion hingga jauh, menerbangkan layang-layang yang membuat anak-anak kolong jembatan girang.
          Matahari telah hampir masuk ke dalam peraduannya. Dengan amat perlahan, menurutkan perintah dari alam gaib, ia berangsur turun, turun ke dasar lautan yang tidak kelihatan ranah tanah tepinya. Cahaya merah telah mulai terbentang di ufuk barat, dan bayangannya tampak mengindahkan wajah lautan yang tenang tak berombak. Di sana-sini kelihatan layar perahu-perahu telah berkembang, putih dan sabar. Ke pantai kedengaran suara nyanyian "Iloho gading" atau "Sio sayang", yang dinyanyikan oleh anak-anak perahu orang Mandar itu, ditingkah oleh suara geseran rebab dan kecapi.4
            Semuanya mulai jelas sekarang, angin mulai membawa harum rumput, gemericik gerimis begitu merdu laiknya gramofon alam, sudah lama aku tak merasakan sendiri kepuitikan alam, ah begitu menyublim berlatar langit yang mulai cerah oleh sandikala berwarna jingga. Sayangnya tidak ada pelangi hari ini, yang ada hanya angin sepoi terseok-seok membawa banyak titipan rindu.

Catatan
1. Paulo Coelho, Sang Alkemis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 46.
2. Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES, 1983, hlm. 131 & 132.
3. Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015, hlm. 75.
4. H. Abdul Malik Karim Amrullah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm.1.

Comments

Post a Comment

Popular Posts