Poetica de Kantin Salwa

6 Mei 2017


sumber: dokumen pribadi


“People who love to eat are always the best people.”
-Julia Child

Sesampainya di pangkal gang terlihat tiang karatan serta pucuknya yang menjorok bertuliskan Kantin Salwa. Jika kita berjalan memasuki gang tersebut kira-kira 5 meter akan ada sebuah warung nasi sederhana di sebelah kanan jalan yang memajang telur dadar hingga tumis kikil pada piring-piring yang lebar, itulah Kantin Salwa yang melegenda. Entah sejak kapan legenda ini terbentuk yang jelas jawaban yang aku terima saat aku pertama kali bertanya tentang tempat makan yang murah dan berkwalitet, selalu nama warung makan ini yang disebut. Sebenarnya tak ada Lasagna, Pavlova, atau Wagyu Teriyaki bahkan menu yang ditawarkan Kantin Salwa tak ada bedanya dengan warung makan lain. Tapi mungkin ada hal lain yang tak banyak orang lihat dan hanya bisa mereka rasakan.

            Sesampainya di depan pintu, warung makan itu sudah penuh sesak. Jika kau tahu kampusku dan makhluk-makhluk parewa yang mudah lapar di dalamnya, mungkin akan ada rasa iba melihat mereka harus sedikit bejubel dan mengantri. Pemandangan ini terjadi akibat pusat jajanan serba ada kampus yang hangus terbakar sehingga kaum-kaum feodal ini harus mencari pengganjal perut di luar lingkungan kampus. Teriknya matahari menunjukkan jam makan siang, dan sepertinya orang-orang begitu bergegas memenuhi riak panggilan perutnya. Aku masuk dan berusaha memesan, setelah memakai jasa konsultasi sebentar aku memilih ayam kecap dan nasi hangat-perbaikan gizi-juga sesendok sambal ijo. Aku duduk di pinggir meja bundar, memegang piring dengan tangan kiri dan tiga jari tangan kananku dengan gesit mencomot suwir demi suwir daging ayam kecap serta menyertakannya dengan sambal ijo yang digerus kasar. Kenikmatan surgawi yang hakiki. Aku tengadahkan muka menghadap televisi yang mungkin menyala sejak pagi, tersiar sinetron India klise namun tetap saja kutonton. Begitu syahdu suasana yang tercipta, membayangkan sudah berapa orang duduk di kursi plastik ini, menikmati ayam kecap dalam senyap. Sudah berapa perut yang pergi dengan kenyang sejak Kantin Salwa berdiri, atau mungkin sejak Politeknik berdiri. Dalam sepersekian detik aku merasakan Aleph, walau pada keadaan yang agak minimalis mungkin.
            Aku sedang melihat cahaya, melihat tempat kudus, dan ada suatu gelombang yang menerpaku, memenuhiku dengan kedamaian dan cinta, dua hal yang jarang sekali datang berbarengan. Aku bisa melihat gajah-gajah di Afrika melambai-lambaikan belalai-belalainya, unta-unta di padang pasir, orang-orang yang mengobral di bar Buenos Aires, seekor anjing yang menyeberang jalan, kuas di tangan seorang wanita yang sedang melukis mawar, salju yang meleleh di pegunungan di Swiss, biksu-biksu yang mengumandangkan himne-himne eksotis, peziarah yang tiba di katedral Santiago de Compostela, gembala dengan domba-dombanya, para serdadu yang baru saja terbangun dan bersiap-siap untuk perang, ikan-ikan di samudra, kota-kota serta hutan-hutan di dunia-serta segala sesuatu yang secara serempak tampak sangat jelas dan sangat besar, sangat kecil dan sangat tenang.1
            Makanan dan minuman juga proses membuatnya yang disebut memasak memilki ciri khas dan seninya sendiri. Dari dulu aku suka menonton acara masak-masak, apalagi saat Ramadhan. Walau akhirnya hanya begitu-begitu saja dan kadang ada begitu banyak ilusi penampilan juga rasa, tapi tetap saja mengasyikan. Menonton acara masak-masak menurutku sama halnya ketika kita sedang mendengarkan acara bedah buku. Lebih banyak hanya bumbu sana sini, namun terkadang bisa menambah apresiasi kita terhadap hasil karya si mpunya. Proses memasak dan cara penyajian juga ternyata sangat ampuh untuk merepresentasikan suatu kebudayaan, seperti botram dan liwet di Jawa Barat, pawon anget di Yogjakarta, atau keplek ilat di Surakarta. Sudah saatnya kita kembali menghidupkan sunnah dalam makan dan minum rupanya, dan mungkin saja ini menjadi begitu darurat bagi kita.2
***
            Apa yang kita masukkan ke dalam perut akan sangat berpengaruh pada apa yang dirasakan jiwa, serta bagaimana kita memperlakukan makanan secara langsung menunjukkan siapa kita. Kesadaran inilah yang dirasakan betul oleh Sa’d ibn Abi Waqqash.
Allahu Akbar! Semua hal ini adalah keutamaan  Sa’d ibn Abi Waqqash. Semua ini menunjukkan kemuliaan dan ketaqwaannya dengan doa-doa yang selalu diijabah. Itulah memang yang pernah dia minta kepada Sang Nabi saat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menawarinya untuk didoakan. ”Doakanlah aku Ya Rasulallah,” kata Sa’d, “Agar doa-doaku sendiri mustajabah!” Sebuah permintaan yang cerdas dan menakjubkan. Ketika itu Sang Nabi menjawab, “Bantulah aku hai Sa’d, dengan memperbaiki makananmu.”3
 sumber: wajibbaca.com

Doa hendak makan yang sudah kita hafal sejak ingusan tidak hanya bermakna permintaan yang berkenaan dengan rasa lapar dan dahaga, lebih dalamnya ketika kita berdoa sebelum makan maka kita telah sadar sepenuhnya bahwa Allah membersamai makan kita serta menjadi asbab hadirnya segala sesuatu di atas piring kita. Sudah seharusnya bagi kita menelisik kembali cara dan adab dalam mengisi perut, karena pada dasarnya kita bukanlah ruminansia yang memilki banyak lambung, bukan pula omnivore laiknya tikus yang memakan segala. Tetapi kita adalah makhluk yang telah Allah tegaskan tercipta dengan sebaik-baik bentuk dan rupa di antara lainnya.

Catatan:
1. Paulo Coelho, Aleph. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013, hlm. 92.
2. Salim A. Fillah, “Dua MADZHAB Darurat HANGAT”, SALIMAFILLAH.com: Rajutan Makna, (salimafillah.com/dua-madzhab-darurat-hangat/, diakses pada 9 Mei 2017).
3. Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah. Yogyakarta: Pro-U Media, 2010, hlm 99.

Comments

Post a Comment

Popular Posts