Kabar dari Lembah

sumber: Danum Valley on wikipedia.org

Beberapa dahan jatuh rendah oleh angin muda: terhempas. Lalu aku teringat kisah mengenai angin yang paling purba di antara jenis yang lain dan ia telah menjelajah mayapada. Ia membersamai kesedihan sejak sejarah kemanusiaan itu ada. Beberapa pernah ia bisikkan pada manusia. Ialah yang membawa berita dari Cordoba hingga seluruh bukit pasir di Maroko yang kuning madu menjadi menggigil, untuk tugas itu ia harus menyeberangi selat Gibraltar yang rahangnya tajam dan bacin.
“Aku dipanggil Levanter ketika melewati daerah tersebut,” katanya bertepuk dada bangga. Ia melaju mengungguli kuda-kuda dari Timur Jauh menuju Baghdad sehingga kota lambat laun berubah kelam dan mendung, walaupun wajahnya menjadi kusam karena terpapar debu savana dan padang.
Sesekali dia menjadi sangat rapuh, angin malang yang selalu mengagumi hujan. Melihat dengan takjub turunnya hujan dari kahyangan untuk mengguyur setiap jengkal bumi yang kering merana. Setelahnya hatinya patah, karena hujan akan lenyap ketika berkah yang dibawanya habis tersampaikan, membuat aroma tanah dan kesejukan menyeruak seketika. Ada keikhlashan yang ia tak mengerti dari hujan, ada ketulusan yang tak ia pahami pada hujan, dan kebungkaman abadi tiap ia menggugat bertanya membuat ia hanya bisa diam.
Angin tua yang suaranya parau, menerpa tipis puncak lampu-lampu jalanan. Sehingga suara gaduh itu membuat yang lain menoleh padanya. Kita menatap lampu jalanan, lampu jalanan menatap langit, sedang langit diam-diam juga menatap kita seperti sebuah santapan dalam mangkok bulat bergambar ayam jago. Mega yang tinggi itu memang selalu terlihat jumawa. Padanya terpentas lengan-lengan rotasi bintang, galaksi yang besar dan berdenyar itu seperti ronce-ronce pada topi saat karnaval. Tapi sebenarnya mega merana, sendirian merindu surya, merindu bulan. Hujan pun tahu itu. Maka tepat lima detik sebelum lenyap ia berpesan pada angin tua.
“Jika kau benar mencintaiku, kumpulkanlah seluruh spektrum warna yang ada yang kau bisa, yang kau tahu telah tercipta agar langit terhibur,” angin tua mengangguk pilu. Bergegas menuju sudut-sudut mayapada, menghimpun merah hingga biru nila dan ungu.
Saat-saat itulah angin tua menangis sendu, tidak terisak apalagi meraung. Terlihat hanya pundak tuanya turun-naik. Tersadar bahwa ia telah lupa cara untuk tidak mengagumi hujan. Dengan hal itu, setiap selesai satu pelangi, ia akan berlarian meniup awan dan menggiringnya. Padahal awan tak suka diganggu, akibatnya guruh dan kilat saling berkejaran. Yang angin tahu hanya hujanlah yang mengerti dia, maka ia harus melihat hujan kembali. Setelah berpeluh, maka semesta atas izin Tuhannya akan mencipta hujan kembali untuk angin. Begitu suci hujan turun tanpa tendensi. Sedangkan angin menggigit bibir menahan tangis melihat kejadian ajaib itu. Terlihat di tempat bekas angin berpijak ada banyak rumah rusak juga jasad bergelimpangan tapi itu bukanlah soal, benarkan? Dan pohon-pohon pinus merekam kejadian ini pada gurat-gurat pokoknya, di suatu lembah hutan terdalam di dunia yang sepi sunyi tak terkira.
***
Di bawah pohon sukun yang bergetah dan berbuah ranum di tangkainya yang berselang-seling ini, aku memikirkan betapa ringan dan mudahnya hidup kita bila tidak dipertemukan dengan makhluk yang lain. Sayangnya hidup kita adalah kreasi keterkaitan, seperti gelombang akibat air hujan yang saling mericik. Rintik-rintik itu akan menghasilkan banyak gelombang yang saling mempengaruhi.

Comments

Post a Comment

Popular Posts