Sekitaran Esai*

sumber: dokumen pribadi
sumber: dokumen pribadi

Posisi Esai

Adalah Michel de Montaigne yang pertama kali menerbitkan tulisannya yang berjudul Essais pada tahun 1580. Maka sejak saat itu esai sebagai genre karangan kiranya mulai dikenal luas. Pada bahasa Indonesia kata esai diserap dari bahasa Prancis essai atau bahasa Inggris essay, yang bermakna upaya-upaya atau percobaan-percobaan. Sehingga karangan jenis ini kurang lebih tidak bersifat final dan memungkinkan terjadinya perubahan. Kemudian hari Francis Bacon juga menulis esai-esai (1597) namun dengan ukuran yang lebih pendek dari umumnya yang ditulis Michel. Esai –demikian Bacon mencoba menjelaskan posisi esai-esainya- lebih berupa butir-butir garam pembangkit selera ketimbang sebuah makanan yang mengenyangkan.[1] 

Namun, tata ketentuan esai masihlah sebuah perdebatan. Esai sering dirumuskan dengan cara bermacam-macam, yang selain berbeda kadang tidak lengkap. Misal dari ukuran esai saja, ada yang menyebutkan bebas (Oxford Dictionary), sedang (Encyclopediae International; Shipley), dan ada pula yang menyatakan pendek atau dapat dibaca sekali duduk (Webster Dictionary). Belum lagi urusan metode dan gaya, dimana keteraturan dan kebebasan yang terasa bertolak belakang itu justru sering kita temui sekaligus dalam sebuah esai. Ini disebabkan sifatnya yang akomodatif untuk berbagai jenis struktur dan ide yang ingin disampaikan subjek penulis. Hal ini pula yang menimbulkan kegemparan tersendiri di khalayak sastra Indonesia saat beberapa sastrawan mapan mengulas kemungkinan munculnya –apa yang disebut- puisi esai sekitar tujuh tahun lalu.

Bagi saya fenomena ini utamanya disebabkan esais sebagai subjek memiliki preferensi berbeda-beda dalam memandang sebuah objek yang dibicarakannya. Sehingga usaha untuk membatasi esai sebagai jenis karangan hanya dari ciri-cirinya (seperti karangan ilmiah dan karya sastra) memang menjadi kurang relevan. Kepribadian esais dan menggejalanya kehadiran objek di latar kesadaran sang esais, keduanya menjadi sama berpengaruhnya pada sebuah karangan yang disebut esai.

Tapi marilah kita sejenak membuat kesepakatan, bahwa memang apa yang saya baca dan coba untuk nilai sebagai esai memang tidak secanggih perdebatan di atas. Sehingga dirasa tidak perlu melakukan telaah yang terlampau dalam. Pada titik ini, kiranya esai dapat kita pahami sebagai karangan berupa hasil perjumpaan esais dengan objek yang sedang dihadapinya. Adapun hasil itu dapat berupa pandangan tertentu, dapat berisi penemuan pribadi atau juga penemuan orang lain, dan dapat didekati dengan sistematika teratur maupun tidak teratur. Oleh karenanya menulis esai pun memerlukan keterampilan berbahasa yang cukup, sehingga bisa kita dapati esais-esais yang besar juga merupakan sastrawan-sastrawan yang hebat.

Penilaian

Sebenarnya lumayan mudah membedakan orang-orang yang terbiasa membaca dan tidak. Begitu pula kualitas bacaan seseorang tercermin jelas dari bagaimana ia menulis. Terkadang saya pun serta merta kehilangan gairah membaca suatu tulisan yang di awalnya saja sang penulis (dalam hal ini esais) tidak mampu membedakan penempatan ‘di’ sebagai kata keterangan tempat dan ‘di’ sebagai imbuhan atau kata depan. Namun agar lebih bertanggung jawab, saya mencoba menyusun alasan mengapa sebuah esai bisa dikatakan bagus. Setidaknya landasan ini saya gunakan untuk menilai beberapa buah tulisan yang telah saya terima dan telah diberi label sebagai esai oleh panitia.

Pertama, tentu perihal kemampuan tulis menulis sang esais. Ini berkaitan langsung dengan keahlian bahasanya. Meliputi penguasaannya terhadap sumber bacaan yang digunakan untuk melihat objek esai, dan bagaimana caranya mengalurkan pemikiran pada sebuah kerangka tulisan. Sehingga pengulangan paragraf yang tidak perlu atau alur berpikir yang berputar-putar bisa dihindari. Hal ini membuat saya mudah mengeliminasi esai-esai yang telah dikirim, sebab beberapa esai (bahkan hingga akhir tulisannya) tak mampu saya terka apa maksudnya.

Kedua, orisinalitas ide. Tentu dengan banyak mengutip tidak menjadikan sebuah esai otomatis terlihat bagus. Esai, bagaimana pun bukanlah hal yang sering kita temui di media sosial. Sehingga kebiasaan mengutip pemikiran seseorang dan mencerabutnya dari pemikiran utuhnya menjadi sulit diterima. Mengelaborasi pemikiran orang lain, serta mengolah hasil perasan pemikiran sendiri akan memproduksi suatu kualitas yang lebih nikmat untuk dibaca. Daur ulang ide memang lumrah terjadi, tapi jika hanya berupa salinan tanpa ulasan kiranya lebih baik disimpan untuk sendiri.

Ketiga, besarnya dampak dari gagasan esai tersebut. Kecenderungan budaya lisan kita membuat pada awalnya akan sulit menyajikan gagasan berupa tulisan yang berdampak luas. Sudah menjadi hal yang umum diketahui, masyarakat kita adalah tipikal yang lebih suka menonton perdebatan daripada mencari kemungkinan-kemungkinan baru lewat membaca dan menulis. Kendati kepekaan-kepekaan tertentu sesuai objek yang sedang dihadapi bisa didapatkan dari aktivitas yang intens bersamanya.

Jika seseorang yang telah menahun mengikuti lika-liku objek esai diperintahkan suatu saat menuliskan keresahan dan gagasannya, tentu kesulitan yang dihadapinya tidak akan sampai membuatnya kalah. Setidaknya kesulitan melihat kemungkinan dan solusi baru itu tidak akan sebesar orang-orang yang pseudo-aktif atau orang-orang yang oportunis-aktif. Akan sangat mudah menemukan tanda mengerti yang pura-pura dan terkesan dipaksakan.

Harapan

Sudah barang tentu, tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai penghakiman, melainkan lebih kepada reaksi rasa senang dan sebentuk tanggung jawab demi membaca esai-esai yang sudah tiba di meja tulis saya. Keyakinan kita mesti kokoh bahwa aktivisme itu tidak ada yang sia-sia, semuanya bernilai tinggi jika diniatkan dengan baik dan lurus. Adapun serupa halnya manusia, ada kalanya kemungkinan selera ambil bagian pada proses penilaian, kendati sudah saya hadang sekuat tenaga barangkali masih akan sedikit berpengaruh. Maka pada akhirnya saya ucapkan tahniah bagi manusia-manusia yang telah rela tertungkus lumus mencurahkan pikiran dan tenaganya pada hal yang amat dicintainya.

Kiranya itulah yang bisa saya tuliskan, kurang lebih saya mohon maaf terutama jika ada kata-kata yang menyinggung dan termuat pada catatan pertanggungjawaban ini. Sebagai juri saya ucapkan selamat kepada para pemenang, semoga apa yang dituliskan bisa ditindaklanjuti dengan amal dan perbuatan secepatnya. Sebagai penutup izinkan saya mengutip selarik syair Arab terkenal yang kira-kira terjemahannya sebagai berikut:

hafalan akan pergi, tapi tulisan akan menetap.[2]

Hormat saya,

Gian Bakti Gumilar

 

*Tulisan ini dimaksudkan sebagai catatan dan pengantar penilaian juri untuk Essay Competition Gathering ADK Polban 2020. 



[1] Acep Zamzam Noor dkk., Puisi Esai Kemungkinan Baru Puisi Indonesia. Depok: Jurnal Sajak Indonesia, 2013, hlm. 4.

[2] Imam Az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim Pentingnya Adab Sebelum Ilmu. Solo: Aqwam, cet. 4, 2019, hlm. 137.


Comments

Popular Posts