Sekitaran Penyair dan Puisi

Membaca Sajak Sebatang Lisong di Balai Kota Bandung (2020)

Gian Bakti

Posisi Penyair dan Puisi

PENYAIR dan puisi belumlah sepenuhnya bebas dari segala mitos yang melekat padanya. Terlepas dari semakin mudahnya akses ilmu pengetahuan dan pendidikan, seni secara umum seringkali disisihkan karena dianggap tidak berkontribusi secara jelas pada pembangunan bangsa. Pandangan tersebut tidak bisa sepenuhnya disalahkan, sebab bangsa kita pernah mengalami bergaul dengan seni yang tak lebih dari sekedar corong politik. Bahkan gaung zaman itu menempatkan politik sebagai panglima.

Ketidakberuntungan nasib penyair dan puisi bisa kita lihat secara jelas kala Orde Baru memimpin. Jika kita rekam kata-kata kunci yang digunakan saat itu: akselerasi, modernisasi, pertumbuhan, siap pakai, maka memang sastra tidak akan masuk kriteria ekonomisme zaman itu yang kelewat pragmatis. Hal itu menyebabkan sastra dengan sendirinya terpinggirkan, dan secara terang-terangan justru dicurigai.

Penyair sebagai wajah kreativitas bahasa disinyalir sering memberikan hasutan-hasutan subversif yang sangat berbahaya bagi kelangsungan dan kestabilan negara. Rendra, Riantiarno, Wiji Thukul, untuk menyebut beberapa orang saja, mengalami pemberangusan atas karya-karyanya.

Namun demikian, seperti mengulang pendahulunya, Orde Baru tetap saja sadar bahwa seni secara umum tetaplah alat propaganda paling efektif. Pencemaran terhadap seni seperti yang dilakukan Departemen Penerangan pada seni pertunjukan daerah pun menjadi lumrah terjadi saat itu. Sayang sastra, dalam hal ini puisi berbeda dengan cabang seni lainnya. Saat kanal-kanal disumbat maka ia akan meniti jalannya sendiri menuju laut.

Ada yang membaca atau tidak, puisi akan tetap menyuarakan dirinya sendiri. Ia akan tertulis di tembok-tembok lusuh kota. Tercatat di badan atau di pantat truk sampah. Di mana saja, sebab itulah penyair sulit dibungkam.

Sejarah penjajahan dan kediktatoran tersebut membuat semacam sekat feodal tersendiri dalam alam bawah sadar masyarakat kita mengenai siapa yang berhak membaca sastra dan menikmati seni. Sastra secara khusus puisi ditempatkan pada posisi yang mulia sebab diniliai sebagai produk budaya tinggi sekaligus dicaci sebagai lambang ketidakadilan yang terjadi berabad-abad lamanya. Pada gilirannya, penyair dihormati laksana pujangga kerajaan tetapi kadang juga dipandang menjijikan sebagai bohemian jalanan peracau yang jarang mandi.

Hari ini, berbagai mitos itu bercampur baur dengan banjir informasi yang lalu lalang di linimasa dan pikiran kita. Di lain pihak, ketegangan antara kebebasan dan kebutuhan akan estetika membuat orang semakin rancu melihat penyair dan puisi. Seiring itu muncul pula berbagai keraguan. Apakah setiap orang yang menyalin tempel kata-kata dari kamus bisa menjadi penyair. Lalu mungkinkah setiap barisan kata-kata yang dirangkai seperti kolom iklan pada koran dapat dibaca dan dinikmati sebagai puisi.

Munculnya Snobisme

Kerugian atas kondisi tersebut tentu pertama-tama akan menimpa masyarakat itu sendiri. Sebab dalam menghadapi masalah kehidupan, masyarakat yang manusiawi tidaklah cukup kuat jika hanya dilengkapi dengan nalar logis semata. Adalah nalar imajinatif-emosional yang diasah oleh puisi juga sangat berperan dalam membangun suatu masyarakat dengan tingkat peradaban yang tinggi.

Dalam sejarah kemanusiaan pun, kita bisa melihat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki tingkat apresiasi yang tinggi terhadap sastra dan memiliki khazanah perpuisian yang mengakar. Masyarakat yang membaca sastra adalah masyarakat unggul. Mereka akan sempat merenungkan kehidupan, alih-alih terjebak dalam rutinitas saling terkam sebagai serigala (baca: manusia).

Sementara masyarakat yang tak membaca sastra menghasilkan setidaknya dua sikap utama. Pertama, sikap yang meminggirkan sastra sebagai sesuatu yang asing. Kedua, apa yang disebut Saini KM sebagai snobisme. Snob, secara umum adalah mereka yang bersikap sok terhadap suatu hal. Dalam kesusastraan, orang-orang snob memiliki pemahaman yang rancu terhadap sastra dan merasa berjasa atas pemahamannya yang disebarkan kepada khalayak. Para snob ini biasanya berpura-pura menghargai karya sastra yang sebenarnya di luar jangkauannya, atau sebaliknya menjunjung karya yang tidak bermutu seakan adikarya. Nahas, sikap snobisme ini lebih mudah menjangkiti puisi dibandingkan karya sastra lainnya.

Hal ini diperparah dengan belum memadainya apresiasi dan kegiatan kritik sastra yang sehat. Alam internet, tempat semua orang bisa mendadak menjadi ahli; media sosial menjelma wahana yang sangat subur untuk snobisme. Di sana tersedia paket lengkap berupa kebebasan, niradab, serta tidak adanya tanggung jawab yang mengikat. Interaksi tersebut mengakibatkan kata-kata menjadi terhambur begitu saja. Kata-kata menjadi meluber.

Gejala itu bisa kita pahami seperti begitu banyaknya kata-kata yang tercerabut dari maknanya, maraknya penggunaan akronim, dan muncul istilah-istilah baru yang bersifat destruktif terhadap bahasa asalnya. Lalu orang-orang menjadi terbius oleh kata-kata hampa tersebut yang dilegitimasi sebagai puisi karena (misalkan) ketenaran pembuatnya, dibandingkan mendekap buku-buku puisi sebelum tidur dan lekas menyadari ada yang telah dicuri dari hidupnya.

Penyair dan Sikap Kepenyairan

Di akhir tahun 1947, pada suatu wawancara dengan Gadis Rasid untuk majalah Siasat, salah satu penghulu Poedjangga Baroe Sutan Takdir Alisjahbana berusaha membendung pengaruh Chairil Anwar dengan mengatakan puisi Chairil tak lebih dari rujak belaka. Rujak yang asam, pedas, asin, dan banyak terasinya. Hanya penyegar mulut, sedikit gizinya. Walaupun seperti halnya kita juga nikmati, rujak adalah makanan yang paling banyak merangkum vitamin.

Puisi Chairil memang bagi Poedjangga Baroe laksana rujak: berisi berbagai jenis buah yang tak teratur, bumbu yang berserak tak tertata, atau rasa pedas yang tiba-tiba menyengat lidah. Berbagai aksen rujak tersebut sangat kontras dengan puisi-puisi Poedjangga Baroe yang sangat memperhatikan rima, keteraturan larik, dan masih sangat bergantung pada pengaruh syair dan pantun Melayu. Baik ‘rujak’ Chairil maupun syair Poedjangga Baroe telah sangat menentukan nasib bahasa Indonesia yang masih sangat muda kala itu.

Syair-syair Poedjangga Baroe telah mendekatkan bahasa Melayu Tinggi dan bahasa Melayu Pasar yang digunakan masyarakat. Kawan-kawan Chairil sendiri alias Angkatan ‘45 bahkan menegaskan generasinya adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia. Puisi-puisi mereka telah menyerap banyak khazanah bahasa dunia, lalu dengannya bahasa Indonesia pun menemukan jati dirinya.

Bagaimana pun penyair adalah wakil suatu pandangan mengenai keindahan. Oleh karenanya silang pendapat dan adu wacana maklum terjadi. Keberkahan tersendiri sebab dengannya kesusastraan kita tidaklah mandek.

Misal bagaimana Rendra mengkritik penyair generasinya yang tak mau ambil bagian pada isu sosial dengan sebutan para penyair salon. Atau perdebatan Abdul Hadi WM, Sapardi D. Damono, Goenawan Mohamad, dkk. mengenai puisi suasana dan puisi ide. Tetapi puisi yang bagus tetaplah sesuatu yang akan diakui secara umum. Seperti halnya makanan yang enak akan mengatasi selera orang yang berbeda-beda.

Puisi yang bagus pada dasarnya adalah puisi yang mengandung perlawanan. Bukan hanya perlawanan terhadap ihwal yang berada di luar dirinya sebagai puisi seperti tubrukan nilai dan moral, melainkan juga perlawanan terhadap perkara internal yang membentuknya sebagai puisi. Contohnya perlawanan untuk menyerah dalam menyeleksi diksi, perlawanan terhadap penggunaan metafor yang sudah mati, perlambang yang membosankan, atau aforisme basi.

Cara mengartikulasikan perlawanan inilah yang bisa bermacam-macam. Dari mulai yang sangat hening seperti Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari hingga yang meledak-ledak pada Sajak Sebatang Lisong. Saat menulis puisi, ada tekanan tertentu yang membuat penyair bergairah. Mencari jalan sehingga pengalaman puitik dapat tersampaikan dengan cara yang terbaik.

Puisi adalah gabungan kerja intelektual dan juga emosional yang membuat adrenalin terpacu. Inilah alasan kutipan terkenal Umar ibn Khattab, untuk mendidik anak menjadi pemberani, ajarkanlah mereka sastra!

Selama mereka hidup, penyair tak melulu berhasil menulis puisi bagus. Tak semua puisi Chairil sebagus Aku dan Derai-derai Cemara, begitu juga penyair lainnya. Tetapi ada satu hal yang menjadikan mereka tetap diakui sebagai penyair walaupun kebuntuan terjadi atau bahkan tak mampu menulis puisi bagus lagi. Sikap kepenyairan.

Kendati ada cita-cita agar dapat membaca sastra terlepas dari subjektivitas penulisnya, saya kira hal itu akan sulit diterapkan pada puisi terlebih puisi Indonesia. Sebab bagi kita penyair kadung melebur dengan puisi yang mereka buat. Anggapan pengarang telah mati bukan saja sulit diterima, melainkan pada puisi ada tanggung jawab tersendiri yang harus dituntaskan oleh penyair pada apa yang ditulisnya.

Kita pasti akan sulit menghayati puisi pamflet Rendra jika ia justru kita temukan sebagai kaki tangan rezim. Sukar juga kita percaya pada Sutardji Calzoum Bachri sebagai Presiden Penyair jika ia menyerah pada arus perpuisian zamannya. Keajegan sikap itulah yang membuat ‘penyair’ menjadi penyair.

Pada akhirnya bagaimana penyair memandang dunia dan bersikap akan lebih dikenang dibandingkan puisi-puisinya. Seperti ditulis oleh Subagio Sastrowardoyo pada Lahir Sajak, “Tangisnya akan memberitakan kelaparan dan rinduku,” bahkan lebih jauh, “sakit dan matiku.”

Comments

Popular Posts