Tegak ke Langit
sumber: dokumen pribadi
Di
sini, di bawah beberapa pohon kamboja. Angin muda bertiup begitu pelan membelai.
Langit yang mulai menguning, seakan tak mau berpisah dengan awan yang setiap
hari ia rindukan. Akhirnya lembayung lebih lama hadir sore ini, membuat aku merasa
begitu kecil dihadapan lansekap alam yang selalu menakjubkan. Terlihat rambut
ikal ayah masih terus menari tertiup sepoi angin yang membuat gurat sisa kegagahan
di wajahnya semakin jelas. Rekaman perjalanan hidupnya seolah tergambar dari
tatapannya yang tajam. Entah kenapa sore ini susana begitu puitik. Aku dan ayah
masih terdiam, membiarkan kepuitisan ini merasuk lebih dalam.
***
Terlalu
banyak perubahan dalam hidupku, terang dunia seakan hilang bersama dengan
kepergian ibu untuk selamanya 2 tahun lalu. Waktu itu aku baru saja lulus
kuliah, dan maag kronis yang sudah lama ibu derita mulai menggerogoti tubuhnya
hingga akhirnya mengantarkan ibu pada takdirnya. Ibu selalu ingin melihat kedua
anaknya memakai baju toga dan topi wisuda, dan syukurlah sebelum ibu pergi aku
mampu memenuhi keinginannya itu. Aku baru tersadar bahwa aku sebagai manusia
belum siap untuk apapun, untuk menghadapi kepicikan dunia. Dan biasanya aku
punya ibu yang selalu mendukung dan meyakinkan. Ah ibu, tak pernah keluhan
kudengar dari mulutmu. Berkat doa ibu dan kerja kerasnya pula aku bisa seperti
sekarang ini. Namun kemapanan pekerjaaan yang telah kuraih sekarang tak mampu
mengobati jiwaku yang kosong. Dan akibat yang paling fatal dari kepergian ibu
adalah kesehatan ayah. Kesehatannya terus menurun, bak domino satu persatu
penyakit menggerogoti tubuh kekarnya yang kini mulai ringkih bertahan. Awalnya
hanya darah tinggi yang kambuh, tapi entah kenapa komplikasi dari penyakit lain
silih berganti hinggap pada tubuhnya. Hal ini membuat bulan-bulan terakhir ayah
lebih banyak digunakan untuk bolak-balik ke rumah sakit. Dan sudah seminggu ini
kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya, alhasil hanya dengan bantuan kursi
roda ayah dapat bergerak. Karena aku tak bisa terus menjaga ayah di rumah, maka
kakakku Irene dan suaminya memutuskan untuk sementara tinggal bersama ayah
karena kondisinya sekarang ini, dan pada hari libur akulah yang menggantikan
menjaga ayah seperti yang kulakukan hari ini. Alasan yang lain ialah karena
ayah tidak mau diurusi oleh selain anak dan keluaganya, mungkin dia agak risih
jika orang lain yang mengurusnya. Kadang aku sering merasa tak berguna bila
melihat apa yang terjadi pada keluargaku sekarang.
“Kak,
aku masih berharap bahwa semua yang terjadi pada keluarga kita ini hanya mimpi
buruk,” kataku pada Irene.
“Sudahlah
Git,” jawabnya menenangkan.
“Andai
saja ibu masih di sini Kak, bersama kita, pasti semuanya takkan seperti ini,”
kataku dengan nada mengeluh.
“Sigit,
ucapanmu itu bisa saja memberatkan ibu di sana,” jawab Irene kembali “sudahlah
Git, ikhlaskanlah ibu, mungkin memang sudah waktunya semua ini terjadi, kita
hanya bisa berdoa.”
Irene
memang benar, mungkin sudah waktunya. Kepergian ibu, sakitnya ayah adalah alur
kehidupan yang wajar sebenarnya. Tapi oh Tuhan, aku masih belum bisa menghadapi
semua realitas ini. Kenyataan bahwa satu demi satu kebahagiaan masa kecilku
mulai hilang. Kenangan-kenangan tentang tawa bersama ibu, nasihat-nasihatnya
yang memberondong ketika aku yang nakal membuat onar, sudah terlanjur membekas
dalam ingatanku. Ah, kini hanya tinggal keheningan yang tercipta ketika aku
mengingatnya.
***
Pagi
ini setelah sarapan, kuajak ayah ke taman komplek dekat rumah. Matahari
bersinar cerah seakan memberikan dukungan tersembunyi dalam perjalanan kami.
Hari ini aku berjanji akan memenuhi semua keinginan ayah, sebagai kompensasi
karena aku tak bisa menemani ayah pada hari libur minggu lalu, tugas pekerjaan
membuatku harus keluar kota dan menginap di sana. Sesampainya di taman, ayah
lebih banyak diam, hanya sesekali dia berbicara padaku. Suasana di taman
sebenarnya riuh rendah, banyak anak kecil yang sedang bermain di sini,
setidaknya hal ini membuat ayah tidak terlalu bosan dan sedikit terhibur.
Melihat mereka bermain aku jadi teringat kembali masa kecilku dulu, sebenarnya
aku tidak terlalu dekat dengan ayah, dan aku pikir begitu juga dengan Irene.
Pekerjaan ayah sebagai anggota militer membuat aku dan Irene dididik dalam
kedisiplinan. Ayah selalu menekankan pada kami untuk menjunjung kejujuran dan kerja
keras. Kadang memang cara ayah mendidik kami dulu agak berlebihan, dan aku
sadari hal itu sekarang ini ketika sudah dewasa. Namun keseimbangan tetap kami
rasakan ketika kami mendapatkan kasih sayang yang berlimpah dari ibu. Ayah tidak
terlalu suka jika kami memberitahu teman-teman bahwa kami adalah anak pucuk
pimpinan tentara, karena ayah takut terjadi nepotisme dalam kehidupan kami
berdua. Maka hanya teman dekat dan sahabat yang tahu pekerjaan ayahku. Ayah
memang orang yang tidak mudah dimengerti tapi aku tetap bersyukur karena tidak
bisa dipungkiri bahwa mentalku terbentuk karena didikan ayah. Di taman, sinar matahari
mulai menghangat, merangsek masuk melalui celah-celah rimbunnya pepohonan yang
ada, setelah puas berjemur aku ajak ayah ke tempat lain yang ingin ia datangi.
“Setelah
ini, ayah mau ke mana?” tanyaku.
“Jika
kau tidak keberatan, ayah ingin ke makam ibumu, ” jawab ayah datar.
Aku
terdiam karena jawaban ayah ini, karena akhir-akhir ini kulihat ayah berjuang
keras untuk menghilangkan kesedihan atas kepergian ibu. Bukankah berkunjung ke
makam ibu akan membuka luka ayah kembali? Tapi aku tidak bisa menolak karena
janjiku pada ayah hari ini.
“Baiklah
Yah, kita pulang dulu untuk bersiap-siap, setelah itu kita berangkat ke makam ibu,”
ayah tersenyum tipis karena jawabanku.
Sesampainya
di rumah, Irene melarangku untuk membawa ayah ke makam ibu. Tapi setelah
mendengar penjelasanku dia pun mengerti. Aku membuang jauh semua
kemungkinan-kemungkinan negatif tentang keinginan ayah ini, yang aku mau hanya
membahagiakan ayah hari ini, itu saja. Kami berangkat setelah sembahyang, makam
ibu agak jauh dari rumah, sehingga aku harus mengendarai mobil dan juga
mengingat keadaan ayah sekarang. Sama seperti di taman, di perjalanan ayah pun
lebih banyak diam, pandangannya ia tujukan ke luar jendela mobil. Satu demi
satu pemandangan ia lihat dengan seksama seakan ingin sekali ia rekam semuanya.
Maka dari itu kuberikan telepon genggamku pada ayah, agar dia bisa memotret
seluruh pemandangan-pemandangan di luar itu dan syukurlah hal itu berhasil. Hari
sudah sore ketika kami sampai di sana. Makam ibu terletak agak lebih tinggi
dibandingkan dengan makam yang lainnya, daerahnya semacam bukit kecil yang
dikelilingi pohon kamboja. Aku pindahkan tubuh ayah ke atas kursi roda dan
membawanya menuju makam ibu. Yang aku rasakan sekarang begitu campur aduk,
senang karena dapat mengabulkan permintaan ayah sekaligus khawatir dengan
implikasi yang dapat terjadi, di sisi lain aku juga rindu pada ibu, semua
perasaan ini membuatku sedikit kalut. Namun ketika makam ibu sudah berada di
depan kami, semuanya tidak seperti dugaanku, tidak ada tangis ayah di sana.
Ayah hanya terus khusyu’ dengan doa dan ayat suci Al-Qur’an, hal ini membuat
hatiku pilu dan berusaha menahan tangis. Baru setelah beberapa lama ayah
menoleh padaku.
“Sigit,”
panggil ayah tiba-tiba.
“Iya
Yah, ada apa?” aku melihat mata ayah mulai berkaca.
“Maafkan
ayah jika selama ini ayah tak mampu memberikan kasih sayang seperti ibu,” suara
parau ayah membuatku merinding.
“Jangan
berkata seperti itu Yah,” aku mencoba menenangkan.
“Ayah
hanya ingin anak-anak ayah menjadi manusia-manusia yang tegar, yang berhasil,
setelah nanti ayah tak ada,” mata ayah mulai basah.
“Tidak
Yah, ayah akan sembuh, dan semuanya akan baik-baik saja seperti dulu,” aku
dekap ayah yang mulai menangis.
“Semuanya
takkan sama tanpa ibumu, ayah terlalu mencintai ibumu Git,” keluh ayah.
“Ayah,
sudahlah, mungkin ini memang sudah waktunya, kata-kata ayah hanya akan
memberatkan ibu di sana, kita hanya bisa berdoa,” tiba-tiba aku mendawamkan
kata-kata Irene yang pernah ia katakakan padaku dan ayah mulai tenang karena
hal itu, “Sigit janji akan menjadi manusia yang bisa membanggakan ayah dan ibu,”
aku merogok sapu tangan dan menyeka air mata di pipi ayah.
Hatiku semakin tak menentu setelah
percakapan itu. Aku dan ayah pun terdiam di depan makam ibu. Sandikala yang
mulai hadir di langit seakan memberi senyuman pada kami. Angin sore meniup
perlahan dahan pohon-pohon kamboja, membuat beberapa bunga berguguran jatuh ke
makam ibu. Kenangan-kenangan bersama ibu segera berseliweran di benakku.
Suasana di sini menjadi begitu haru dan puitik, ada imaji-imaji alam yang tak
terungkapkan. Aku tak pernah menyangka hari itu adalah hari terakhir aku
memeluk tubuh ayah, hari terakhir aku melihat rambut ikal ayah yang tertiup
angin, hari terakhir aku menikmati senyum tipisnya. Karena sebulan setelah
ziarah ayah ke makam ibu, kesehatannya semakin memburuk dan akhirnya ayahku
pergi untuk selamanya menyusul ibu seminggu kemudian. Ada banyak hal yang tak
kumengerti tentang ayah, namun satu yang kuyakini yang ada di hatinya bahwa
cinta ayah sama besarnya seperti cinta ibu, namun ayah memiki cara yang berbeda
dalam memberikan cintanya itu. Dan hari itu kurasakan semua cinta ayah menyublim
mempunyai sumber yang sama seperti cinta ibu, kurasakan juga semuanya memiliki
kemilau yang sama. Dan kemilau itu bersinar tanpa ujung menembus cakrawala tegak
ke langit.
:')
ReplyDelete:')
DeleteGian apa kabar? Semoga Allah selalu ridhoi langkahmu. Saya suka dengan tulisanmu. Jangan berhenti menulis ya. Saya semakin semangat untuk menulis ketika membaca tulisanmu
ReplyDeleteAlhamdulillah baik, Aamiin. Wah terimakasih banyak, siap keep writing 💪. Baca yang lain juga ya hehe.
Delete