Sukab yang Malang
sumber: visitbali.id
Membaca
trilogi Alina adalah membaca yang mengasyikkan. Menghibur. Bahkan kita menjadi
berpikir, barangkali kontemplatf. Di saat hari ini, orang akan sibuk berswafoto
siluet di tengah pengalaman senja paling sempurna di tepi pantai, Sukab tidak
melakukannya. Ia memilih untuk sibuk mengalaminya: pengalaman puitik menikmati
senja dengan khidmat. Sangat khidmat, hingga ia teringat kekasihnya dan lantas
mengerat senja itu pada empat sisi sehingga cakrawala berlubang sebesar kartu
pos. Setelahnya kita pun mafhum bahwa Alina menjadi muntab, “Sukab yang malang,
bodoh, dan tidak pakai otak,…” Sebab cinta terlalu sering melahirkan bencana. Sebutlah
kisah Troya hingga dendam akibat cinta Ken Arok. Semuanya berujung prahara.
Sejarah cinta juga adalah tentang kedunguan. Kita tahu Romeo yang menenggak
racun. Rahwana yang menculik Sita. Lalu kini Sukab yang mencuri senja. Sukab
mungkin bersalah, tapi kita selalu bisa memaklumi kedunguan orang-orang yang
jatuh cinta.
Semua
orang tahu, mencuri senja bukanlah perkara kecil, Apalagi yang dicuri adalah
senja asli dan paling sempurna di dunia, bukan sekedar pseudo-senja yang haru.
Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta
adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada
debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap
saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah dan pasir tetap saja hangat
ketika kususupkan kakiku ke dalamnya.[1]
Betul-betul
adakah senja semacam itu? Apa akan ada lagi senja sesempurna itu? Atau barangkali
setiap senja selalu tampil seperti itu, hanya saja kadang kita tidak memiliki
cukup keberanian untuk menikmatinya dengan jujur. Sehingga tidak hanya
helikopter yang mesti dikerahkan mengejar seorang pencuri senja, harusnya juga
seluruh jet tempur seluruh dunia! Rudal balistik antar benua milik negara
adidaya pun baiknya ikut diarahkan padanya. Sebab keputusan Sukab mencuri senja
memang memprihatinkan. Namun kita akhirnya pun jadi iba, bahwa setidaknya ia
tahu apa yang ia inginkan, dan tegar mempertahankannya.
sumber: dokumen pribadi
Seorang
bijak pernah berkata bahwa cinta itu tentang ketulusan. Bahkan jika kita telah
merasa berkorban untuk cinta, maka saat itu pula sebenarnya kita tidak sedang betul-betul
mencinta. Kita sedang pura-pura saja. Tapi Sukab bukanlah orang yang taat pada
Pak Turut dan Pak Kutip. Ia manusia modern, memiliki prinsip yang ajeg,
terutama tentang cinta. Alih-alih memberikan kata-kata sebagai bentuk
kecintaannya, ia memilih berkorban: mencuri senja. Sepotong senja yang lengkap
dengan angin yang berkesiur, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya
keemasan. Harap-harap cemas, sebab takut senja itu tak sampai dengan keadaan
yang sama saat ia mencurinya. Apakah waktu tetap berjalan pada sebuah bagian
semesta yang dicuri? Apakah dalam amplop itu senja masih berdenyar-denyar? Kita
boleh tidak setuju pada cara Sukab mengekspresikan cintanya, tapi permasalahan
modern haruslah dijawab dengan solusi modern. Begitu kata para ilmuwan. Lalu
kata-kata dinilai sudah bukan lagi medium tepat menyatakan cinta di milenium
ketiga.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu
Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan
sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Sudah terlalu banyak kata di dunia
ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa.
Tentu
bukan karena kata-kata itu tidak lagi memiliki tenaga mengubah dunia, tapi
dunia ini bukan lagi iklim yang baik untuk saling memahami. Kata-kata menjadi
tak berguna sebab ia tak lagi didengar dan dipedulikan sebagai ‘kata-kata’. Ia
hanya menjadi alat pengantar definisi.[2] Hanya dianggap sebagai
pesuruh untuk menyampaikan pengertian-pengertian. Kata-kata telah dijajah,
Sukab menyadarinya.
Di dunia ini semua orang sibuk
berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata
tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak
peduli dengan kata-katanya sendiri.
Sebuah
kenyataan bagi Sukab, bahwa dunianya sudah kelebihan kata-kata. Kata-kata
tergopoh berdarah-darah dan terluka karena direkayasa. Setiap kata bisa diubah
artinya. Setiap arti mudah disitir maknanya. Kita boleh menghakimi Sukab
macam-macam karena merasa terancam akan perilaku kita memanipulasi kata-kata
bisa diketahui banyak orang, tapi setidaknya hargailah ia sebagai manusia yang
merdeka.
Dunia Sukab adalah dunia yang keras –
pasti bukan dunia kita. Misal semenjak revolusi industri dianggap ada,
tangan-tangan manusia bukan lagi alat utama mencipta sesuatu. Industri dengan
segala teknologinya mampu memproduksi apapun secara banyak dan bersamaan.
Masal. Lalu manusia hanya tinggal pulang dan pergi mengawasinya. Tapi apakah
semua barang yang dibuat secara bersamaan itu selalu dibutuhkan setiap saat
bagi kehidupan. Tentu tidak. Namun produksi terus berlanjut. Tanpa henti. Maka
pada dasarnya kita dipaksa untuk merasa membutuhkannya. Kita dipaksa
mengkonsumsi hal-hal yang tidak kita perlukan. Dunia modern adalah dunia yang
memaksa kita menginginkan sesuatu kendati tidak begitu membutuhkannya. Iklan
yang sugestif, slogan yang persuasif, memasuki lalu lintas alam bawah sadar
kita setiap hari. Setiap saat arus informasi itu bertubrukan sehingga kita
tidak lagi mampu membedakan mana yang harus dan yang hanya keinginan. Kita
semakin sulit mengatakan dengan tegas kepalsuan sebagai kepalsuan, kebenaran
sebagai kebenaran. Karena hari ini semuanya diproduksi besar-besaran.
Barangkali memang sudah waktunya
dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko, dikemas dalam kantong
plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran
supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan. “Senja!
Senja! Cuma seribu tiga!
Dan
benar saja lahirlah hiperrealitas. Alangkah kagetnya saat dalam pelarian Sukab
menemukan kembali senja yang begitu sempurna. Tempatnya bukan di istana
raja-raja. Bukan pula di pantai-pantai paling perawan di dunia, melainkan di
ujung gorong-gorong kota. Tempat terkotor, bacin, namun memilki senja yang sama,
itulah fakta yang ia lihat. Sukab menjadi tambah subtil, barangkali saja senja
gorong-gorong kota ini cocok menggantikan senja yang ia curi. Betapa malangnya
Sukab saat ia kembali mengerat senja gorong-gorong itu. Maka di kedua sakunya
kini terpancar cahaya keemasan ke sepanjang jalan. Astaga. Saat ia kembali ke
tempat kejadian perkara pencurian senja, ia rekatkan senja gorong-gorong itu ke
cakrawala. Lubang sebesar kartu pos di cakrawala itu pun kini telah kembali
utuh, ditambal oleh senja gorong-gorong kota. Tapi bukankah itu senja yang
palsu? Siapa peduli asli atau palsu, lagipula orang-orang kota telah terbiasa
dengan sesuatu yang palsu. Gigi palsu. Bulu mata palsu. Kepercayaan palsu.
Laporan kekayaan palsu. Lalu apa bedanya jika kini orang-orang kota punya senja
yang sempurna, namun palsu.
Pada akhirnya Sukab berhasil, senja
asli dan paling sempurna itu terkirim. Termuat dalam amplop yang membuat
petugas Federal Express silau saat ingin merekatkan penutup amplopnya, membuat
ia menjadi amplop dengan celah yang terbuka. Celah berisi senja. Saat surat itu
sampai ke tangan Alina, memang Sukab tetaplah malang. Surat itu terlambat
sampai, sangat terlambat, sama seperti ketakutan pengirim surat di mana pun.
Sukab yang malang, pengorbanannya mencuri senja mungkin tetap berujung kekecewaan
dan bencana. Namun siapakah yang lebih malang dari orang-orang yang tak pernah
sekali pun berani menikmati senja dengan jujur, lalu tersadar keindahan di
langit petang itu adalah sekadar pengantar menuju sesuatu yang lebih kelam: kegelapan
malam.
Wow
ReplyDeleteHaha piye? Petang di Cappadocia kayanya waktu yang tepat buat mencuri senja.
DeleteHaha jadi mikir tempat nyuri senja enaknya di mana aja.
DeleteTapi Kapadokya harus coba sih, aku sendiri ga pernah sampai malem kalau main ke sana.
Kalau judul filmnya, "Mencuri Senja di Anatolia."
Delete