Dari Kampus ke Braga



Dari Kampus ke Braga
Sumber: sahabatmkaa.com

“You know what, Patti? One day middle school will end and become high school and after that it just becomes life. All those things you think are important now won’t be anymore.”
-Angie Steadman, Diary of Wimpy Kid
K
eniscayaan mungkin bagi kita jika menonton atau membaca mengenai kisah pelajar atau cerita sekolah selalu ada sebentuk diskriminatif. Jenjang sekolah formal yang masing-masing kita rasakan ternyata tidak sepenuhnya tempat yang aman. Dan sialnya keterbukaan kita dan generasi setelah kita pada orang yang dituakan makin lama makin menurun. Anggapan bahwa tidak ada yang lebih mengerti kita dibanding teman-teman menjadi salah satu bukti bahwa pengaruh lingkungan dan pergaulan begitu membekas di masa remaja kita. Alhasil, delikuensi dan kenakalan yang sekilas terlihat amoral rasanya semakin menjamur di kalangan manusia berusia produktif yang seharusnya menjadi harapan negara.
Dalam masyarakat kita dewasa ini orang yang berusaha menjadi hipster akan melawan arus utama yang begitu kuat, dan oleh karena itu hanya sebagian kecil yang berani men-drive hidupnya sendiri. Angie Steadman yang perkataannya penulis kutip di awal adalah salah satu orang yang mungkin menyadari hal ini, walau dia hanya tokoh fiksi di film Diary of Wimpy Kid, tapi sepertinya dunia tidak akan pernah kehabisan orang sepertinya. Krisis identitas pada kenyataannya mungkin bisa lebih berbahaya dibanding dengan senjata kimia atau rudal balistik.
Perpeloncoan di kalangan terpelajar telah begitu banyak menelan korban, dan riuh rendah beritanya telah kita dengarkan selama awal tahun ini. Tapi apa yang dipikirkan aktivis sekelas Gie dan yang ia tulis di buku hariannya semoga dapat memberikan kita sedikit celah memahaminya.
Jum'at, 20 Oktober 19611
Masa perpeloncoan diadakan dari tanggal 27-1 (September-Oktober). Ketika baru dipelonco kami dibentak-bentak, ditendang tas kami dan dimaki-maki. Baru-baru terpikir olehku, apalah gunanya semua ini. Dimana kadang-kadang manusia disuruh menjadi binatang. Apakah ada gunanya memaki "jelek lu", "muka lu lihat dulu", "gigi lu kuning", dan sebagainya?
Ups, alangkah baiknya kita baca sampai akhir apa yang dialami Gie jika kita ingin memahami masalah ini.
Baru-baru aku menganggap semua tadi sia-sia. Tetapi sekarang aku pikir perpeloncoan ada juga segi-segi positifnya, di samping banyak sekali segi-segi negatifnya.
Misalnya orang-orang borjuis atau mereka yang tak dewasa dalam pemikiran. Seorang anak mau tidak mau menjadi dewasa. Dan dia harus berani dan sadar melepaskan diri dari pelindungnya, dalam hal ini orang tuanya. Entahlah kalau ia mencari "bapak" baru, "Tuhan" kalau menurut Freud. Dalam perpeloncoan hal ini jelas nampak.
Dalam perpeloncoan juga terdapat dua jenis manusia. Kita semua memang tidak suka pelonco, tetapi kita harus menghadapinya. Sebagian berani menghadapi kenyataan ini dengan bersikap sesuai. Dalam hal ini, aku tertawa-tawa saja sehingga ada senior yang bilang aku senang dipelonco. Aku mau hidup bahagia dalam situasi seperti ini. Tetapi ada pula yang marah-marah, mendendam, dan sebagainya. Dalam keadaan seperti ini perpeloncoan merupakan neraka bagi mereka. Mengapa kita tidak berani menghadapi kenyataan walau, bagaimana pun pahitnya? Mereka adalah orang-orang konyol, mereka adalah seperti tokoh-tokoh A. Chekov dalam Cherrie Orchard, dan tokoh-tokoh konyol lainnya. Be brave to face the facts.
Setiap generasi memiliki tantangannya masing-masing dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta tentu saja keadaan kita telah begitu jauh dengan angkatan ’66, namun jika kita renungkan secara jujur memang tak ada yang bisa menolak bahwa perpeloncoan adalah gagasan yang dilematis. Kita dihadapkan pada keinginan kita untuk mengembangkan diri karena seperti Gie bilang perpeloncoan sangat efektif menempa mental, tapi di sisi lain kita juga pasti pada suatu titik merasa semua hal yang kita lakukan adalah sebuah kesia-siaan. Menarik. Mari kita ketengahkan dengan pikiran yang jernih, dimana Allah Swt, tidak menciptakan kita untuk sebuah senda gurau dan memang apa yang kita dapatkan sangatlah tergantung pada apa yang telah kita niatkan sejak awal. Maka upaya untuk terus mencari substansi di setiap kegiatan kita adalah hal yang harus selalu kita rutinkan dan begitu pula pemahaman bahwa konsekuensi segala perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawabannya. Selain itu, sifat mawas diri harus selalu terpupuk bagi seluruh pemberi nasihat. Karena, pada dasarnya apa yang kita katakan dan apa yang kita titahkan sudah sepatutnya telah kita lakukan. Maka jika hal-hal itu telah terpenuhi, perpeloncoan yang ideal yang selalu kita idamkan bukan mustahil dapat terwujud.
***
Di suatu acara televisi, saat salah satu pemandu tur berhenti di depan Jalan Braga dan mulai bercerita, ada kegamangan di hati saya. Katanya, salah satu alasan mengapa Bandung dijuluki Parijs van Java saat zaman kolonial ialah bukan karena cuacanya tapi karena kemungkinan besar barang mewah terbaru eropa akan ada di Braga seminggu setelah rilisnya. Tapi bukan itu masalahnya melainkan tulisan Verboden voor honden en inlander (Dilarang masuk bagi anjing dan pribumi) yang katanya tersebar di sana hingga ke Jalan Asia Afrika, kawasan elite Bandung dahulu. Mungkin saja kolonial tidak sepenuhnya tercela, tapi memang bangsa kitalah sendiri yang begitu diskriminatif pada saudaranya sendiri dahulu, sehingga bangsa lain pun ikut berlaku sama. Untung saja semangat menak, golongan bangsawan, dan gelar feodal lainnya sudah tak ada sekarang. Namun peluangnya untuk kembali sangat besar ketika kaum terpelajar masih memelihara budaya diskriminatif yang tidak sehat.

Catatan:
1.   Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES, 1983, hlm. 114.

Comments

Post a Comment

Popular Posts