Khazanah Baghdad


sumber: khazanah.republika.co.id


“Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.”
-Amirul mu`minin, Umar ibn Khattab

Di dalam perpustakaan raksasa itu berjejal buku-buku yang terkumpul dari berbagai zaman dan wilayah dengan begitu eloknya. Orang-orang terpusat dengan tiga kegiatan, yaitu membaca, menulis, serta menerjemahkan, sedangkan ruang diskusi dipisahkan karena kata-kata yang terlontar biasanya hasil dari tiga kegiatan awal.

Rak-rak buku menjulang dan berjejer tanda supremasi pengetahuan beserta nama-nama yang mendirikannya. Yang paling ramai dikunjungi ialah Khazanah Ar-Rasyid dan Khazanah al-Ma`mun. Terlepas dari sudah banyak melencengnya penggunaan kata khazanah di kalangan kita, secara etimologis khazanah merupakan kata yang mewakili sebuah benda yang patut disimpan, dijaga karena nilainya bagi sang pemililk.

Maka alasan etimologis inilah yang mungkin membuat khalifah menamai almari buku sebagai khazanah, dan alasan yang sama pula mungkin yang membuat Baghdad menjadi poros peradaban dunia saat itu.

Zaman penerjemahan dalam arti yang sebenarnya baru dimulai pada zaman daulat ‘Abbasiyyah. Khalifah ‘Abbasiyyah yang bernama Al-Manshur membangun kota Baghdad yang kemudian menjadi mercusuar di timur dan jantung dunia Islam dalam kurun waktu yang amat panjang. Dari Jundisabur, Al-Manshur mendatangkan Jirjis bin Bakhtaisyu’ (148 H) kemudian diangkat sebagai kepala team dokter istananya sampai ia (AI-Manshur) wafat pada tahun 150 H. Anak lelaki Al-Manshur yang bernama Al-Mahdi tetap mempekerjakan Bakhtaisyu’ di istananya hingga zaman Al-Hadi dan Ar-Rasyid. Anak lelaki Bakhtaisyu’ yang bernama Gabriel juga menjadi seorang dokter dan bekerja di istana Ja’far Al-Barmaki dan tetap dalam pekerjaan itu hingga zaman Khalifah Al-Ma’mun. Ja’far Al-Barmaki meninggal dunia pada tahun 213 H.1

Baitul Hikmah adalah sebuah kesadaran bahwa kemajuan pasti akan Allah pergilirkan di antara bangsa-bangsa. Proses penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab membuat kegiatan ilmiah menjadi gegap gempita.

Tak terbayang begitu banyak manusia berjalan kaki menuju Baghdad hanya untuk berdiskusi langsung dengan para Ikhwanush Shafa, mendelegasikan sarjana-sarjana terbaik hanya untuk melihat bagaimana sebenarnya para mufti bekerja. Saat itu Baghdad menjadi kota terbesar dengan 3 juta penduduk, mengungguli Ch’ang-an ibu kota Dinasti T’ang di Tiongkok.

Seperti yang dikisahkan pada kitab Azwaajul Khulafaa` karya Syaikh Raji’ Kinas dan dikutip oleh Ust. Salim A. Fillah pada salah satu tulisannya, bahwa ada seorang Arab Badui yang dihadapkan pada Khalifah Al-Manshur dan diminta untuk mengisahkan perjalanannya ke berbagai negeri, demi menyimpulkan: “Tiada yang semegah Baghdad”.

Namun yang unik seperti laiknya sifat Badui yang blak-blakan, sang juru kisah memang mengakui kemegahan Baghdad namun mengadu tentang sulitnya bertemu sang khalifah, lalu ia berkisah dengan semangat tentang Sang Kaisar yang memimpin Ch’ang-an yang sudah lanjut usia bahkan seiring berjalannya waktu Sang Kaisar mulai kehilangan pendengarannya namun tetap mendatangi rakyatnya dan menyuruh orang-orang agar memakai baju merah dan menuliskan keluhan pada kertas agar ia dapat membacanya.

Terlepas dari perjalanan berliku sang pembangun Baghdad menjadikan kotanya sebagai mercusuar peradaban, sebuah kemegahan akan selalu melahirkan sebentuk kemarjinalan. Bayangkan saja Baghdad saat itu memiliki benteng terluar setinggi 40 meter, jari-jari bentang kotanya 20 mil, lebar bagian atas tembok kota itu dapat dilewati 4 kereta perang sekaligus berjajar. Ke arah dalam istana masih ada 6 tembok lagi, Madinat As-Salam tempat tinggal sang penguasa menjulang tinggi di pusat kota. Untuk sampai ke dalamnya harus melewati 40 lapis penjaga.2

Baghdad seperti pendahulu-pendahulunya memilki kerling dan denyar, perbedaannya apa yang dipunyai Baghdad adalah hasil akumulasi yang terjadi di Jundisabur, kumpulan-kumpulan kearifan dari Iskandariyah, serta kegemilangan perguruan Athena. Maka kita yang mempelajari sejarah sudah tak perlu lagi berdebat tentang dari mana awal mula embrio semangat Renaissance, selain faktor keluarga Medici dan jatuhnya Konstantinopel, giatnya penerjemahan buku ke bahasa Italia membuat Firenze dijuluki ‘Athena di Barat’.

Sejarah pada intinya mengajarkan kita bagaimana tahapan jika kita ingin membangun sebuah peradaban, dan kegiatan literasi masyarakat adalah salah satu indikatornya.
sumber: dokumen pribadi
Posisi kelas saya saat 1 SMP persis bersebelahan dengan perpustakaan sekolah. Ada banyak kesenangan sebenarnya saat itu, selain mengusili bapak penjaga perpustakaan yang masih muda, ada satu buku yang sangat saya suka, semacam ensiklopedi tipis tentang Arthropoda dimana lembarannya sudah berwarna kuning dan lusuh.

Dari buku itu saya tahu bahwa ada laba-laba sebesar satu ubin keramik, ada juga lipan yang hampir sepanjang lengan, membayangkannya saja saya sering merinding, terlebih ketakutan saya pada kecoa saat masih kecil sangat mengkhawatirkan dan belum sepenuhnya dapat disembuhkan. Dari buku itu saya juga tahu perpustakaan sekolah memang butuh peremajaan.

Benar saja, beberapa bulan setelahnya di depan perpustakaan menggunung buku-buku, ada yang sudah dikemas dan diikat oleh tali rafia, ada yang dibiarkan begitu saja berserak, yang jelas hal ini tak seperti peremajaan dalam benakku. Tadinya sempat terpikir untuk mencoba mencari buku itu tapi debu-debu yang tercipta di depan perpustakaan terlalu pengap untuk dilalui, sempat bertanya juga pada pustakawan apakah buku-buku ini akan diloak, namun tidak ada jawaban.

Pada akhirnya perpustakaan sekolah menjadi lebih dominan terisi oleh buku paket, buku-buku pencitraan pemerintah, kamus 500 milyar, dan komik Doraemon, ya walaupun masih ada Bulan Bugil Bulat dan Gitanjali. Hah. Mungkin inilah yang membedakan perpustakaan sekolah saya dengan Centre Library Seattle atau Bibliothega Alexandria misalnya. Atau secara lebih dalam yang membedakan kita dengan Baghdad saat masa jayanya, yaitu perlakuan kita terhadap buku.
***

Tidak pernah akhir tahun sekelabu ini, sejak November 1257 ultimatum dikirim. Langit Baghdad begitu muram, aura kematian begitu kuat tercium, Hulagu Khan meminta agar Khalifah Al-Musta’shim segera menyerah namun kita ketahui sikap sang khalifah yang membuat Hulagu naik pitam. 

Baghdad dikepung, kedua sisi Sungai Tigris telah penuh oleh pasukan yang siap dengan strategi manuver untuk menjepit kota. Pasukan Mongol dari barat sempat dipukul mundur, namun tak ada yang bisa menghentikan serangan selanjutnya. Tanggul-tanggul dihancurkan sehingga air membanjiri pasukan khalifah dari belakang, sehingga banyak yang mati tenggelam. 5 Februari 1258, benteng-benteng strategis telah dikuasai yang membuat tak ada alasan bagi Baghdad bertahan dan resmi menyerah pada 10 Februari.

Tiga hari kemudian invasi ke kota dimulai, diwarnai jeritan-jeritan pilu dan tangis darah. Hanya dalam waktu seminggu Baghdad yang indah menjadi rata dengan tanah, dari Masjid hingga rumah sakit semuanya hancur karena kebengisan manusia berhati binatang.

Perampokan, penjarahan, pembakaran, pemerkosaan, terjadi di se-antero kota. Sungai Tigris kini berubah warna menjadi hitam bercampur merah pekat. Hitam dari tinta buku-buku yang dibuang ke sungai, dilempar, dan abu hasil pembakarannya dilarung bersama almari-almari yang berukiran indah. Merah pekat dari darah para syuhada, warga kota yang dibantai dengan sadis dan tak terhitung jumlahnya yang meyebabkan bau anyir merebak hingga ke sudut-sudut kota.

Walaupun Baghdad tetap berdetak hingga ke-khalifahan selanjutnya bahkan hingga kini, tak pernah kita temukan kejayaan yang sama, karena kita tahu apa khazanah Baghdad yang sesungguhnya.

Catatan
1. Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985, hlm. 33.
2. Salim A. Fillah, “PENGADUAN (Bag. 1)”, SALIMAFILLAH.com: Rajutan Makna, (salimafillah.com/pengaduan-bag-1, diakses pada 15 Januari 2017)


Comments

Post a Comment

Popular Posts