Berkunjung ke Maskumambang buat Ibu
Bersama Nenden Lilis
Saat itu petang
sudah hampir habis. Angin awal malam sudah mulai berembus, menguarkan aroma yang
membuat orang-orang ingin segera tiba di rumah. Begitulah suasana kala
rombongan Menlit tiba di kediaman Nenden Lilis. Penyair yang kerja
kebudayaannya membuat siapa pun tahu beliau adalah salah satu pionir atas
kebangkitan sastrawan perempuan di negeri ini.
Akademisi dan Praktisi
Ranah
kepenulisan Nenden Lilis sangat luas. Selain puisi, beliau juga adalah cerpenis
yang tak kalah memikat. Contohnya Antologi Cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara,
Dari Pemburu ke Terapeutik (2005)
memuat cerpennya berjudul Wabah sebagai
salah satu wakil dari Indonesia.
Selain itu, ia
pun mengajar di almamaternya yakni Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia UPI Bandung. Hal ini masih jarang terjadi, perpaduan sastrawati
(praktisi) dan akademisi. Dan kedua peran itu berjalan sama baiknya.
Angin menabraki
pucuk-pucuk tanaman dengan garang di pekarangan rumah beliau. Terlihat dua tiga
helai daun jatuh, berguguran ke atas jalanan yang lengang. Tetapi saat kami
digamit masuk, menyeruak suasana yang berbeda.
Sosok Lain
Di ruang tamu
kami duduk. Warna tembok yang earthy dan
kesederhanaan interior membuat sisa perjalanan di wajah lekas pudar. Cahaya
temaram dari lampu teras menyusup masuk dari celah-celah jendela. Saat itu kami
seperti anak rantau yang pulang, anak hilang yang telah lama dinanti.
Nuansa Dinding Ruang Tamu |
Keramahan beliau
serta arus obrolan yang meluncur santai menghangatkan tubuh-tubuh kurus kami,
laksana ranting-ranting ranggas tersiram cahaya matahari pagi. Saya pun agak
terkejut, sebab saya selalu mengasosiasikan Nenden Lilis dengan sosok lain.
Sosok yang lebih dingin seperti nada-nada puisi yang beliau tulis.
Ada suatu nuansa
sunyi, sepoi seperti angin, dan kehilangan yang liris pada larik-larik puisi
Nenden Lilis.
KEPULANGAN[1]
seseorang
berjalan di bawah hujan
dan hanya
diantarkan angin
2005
Keramahan beliau
di luar dunia puisinya, telah membuat saya harus melukis ulang potretnya.
Gambaran yang sudah tersimpan semenjak membaca puisi-puisinya dalam antologi Bunga Berserak (2003) pada salah satu
rak perpustakaan sekolah. Kendati demikian, kami senang. Harapan untuk
menggondol banyak ilmu hari itu sepertinya akan terpuaskan.
Pengamat dan Penghayat
Bagi beliau,
penulis adalah pengamat dan penghayat dunia yang terus menerus. Sebab yang
nyata ada ialah dunia yang puitis, bukan bahasa yang puitis. Di sela uap teh
hangat dan bertoples keripik singkong malam itu, dimulailah penuturan proses
kreatif menulis seorang Nenden Lilis.
Puisi pada
khususnya menuntut sebuah kejernihan. Kualitas tersebut tidak hanya berasal
dari pendayagunaan bahasa yang maksimal, kedalaman batin seorang penyair pun
ikut berperan. Sebab itu bagi Nenden Lilis, sejauh mana seorang penyair
menghayati kehidupan menjadi lebih penting ketimbang sekadar memelototi teknis
menulis yang kaku.
Kekayaan batin
seorang penyair membuat puisi yang ditulisnya seakan memiliki ruh. Puisi
menjadi sesobek jiwa dari penyair pada titik itu. Senada yang dituliskan Acep
Zamzam Noor, puisi yang bagus pada dasarnya adalah yang mampu membangkitkan
bulu kuduk. Resonansi semacam itulah yang berusaha dibentuk pada sebuah puisi.
Mengambil Sanad Puisi dan Tanda Tangan |
Logika Puisi
Pembaca puisi
haruslah diberi keleluasaan penafsiran, tetapi tetap ada kanal-kanal yang mesti
dibuat oleh penyair. Begitulah kira-kira logika puisi bekerja. Tentu bukan logika
linier, melainkan keutuhan antara pemilihan kata dan beban imajinatif yang
dimaksudkan oleh penyair.
ETSA[2]
kalau kau ingin tahu berapa banyak cintaku
tak akan terhitung oleh helai rambutmu
tapi jika kau ingin tahu tentang hidup
lihatlah goresan dan kerut yang terukir di wajahku,
yang kau isi dengan cerita pada setiap garisnya
aku menyukai hidup ini
meski hitam
karena begitu menggemaskan
seperti bibir hitammu yang menggebu kupuja
dan aku mengorbankan diri di dalamnya
sebagai makhluk Tuhan
di pemotongan hari Kurban
2005
Pada larik lihatlah goresan dan kerut/ yang terukir di wajahku, kita bisa
merasakan dampak penggunaan diksi ‘goresan dan kerut’ pada kejernihan yang
digambarkan oleh sesuatu yang terukir di
wajahku. Apa yang terimajikan oleh pembaca sebagai segala bentuk goresan
dan kerut —yang ada pada wajah aku lirik —dapat dengan mudah terasosiasikan
dengan tentang hidup yang dimaksud
pada larik sebelumnya.
Tidak ada beban imajinatif yang
terlampau berat sehingga terasa artifisial. Setelah itu kita pun menjadi
terkesan belaka, tanpa perlu banyak berpikir karena goresan dan kerut itu
adalah bukti perjalanan hidup yang kau
isi dengan cerita/ pada setiap garisnya di akhir bait.
Logika puisi terkadang memang
sangat erat kaitannya dengan ketepatan diksi. Beliau mencontohkan dalam sebuah
larik spontan tanah pekat/ mengaliri
hatiku. Metafora tanah pekat sebenarnya
potensial menjadi atribut yang baik bagi larik tersebut. Namun kata mengaliri membuat keutuhan larik itu
berkurang.
Ada beban imajinatif yang
menjadi beban pemaknaan, sehingga membuat pembaca tersendat. Sebab bagaimana
pun kepekatan tanah yang telah terimajikan sebagai medium yang lebih padat,
terkesan agak sulit mengaliri. Akan
berbeda logika yang terbangun jika mengaliri
diganti dengan menutupi misalnya.
Menjemput
Inspirasi
Bagi Nenden Lilis, mengutip TS
Eliot bahwa penulis adalah seseorang yang senantiasa terpukau dengan kejadian.
Seperti anak kecil, penulis harus mengaktifkan segala daya tubuhnya untuk
menangkap rincian kehidupan. Rasa antusias itu dibangun untuk ihwal yang
terjadi di sekitarnya, atau yang bergumul di dalam diri penulis sendiri.
Maka mitos ilham bagi penyair
tak terlalu berpengaruh pada poses kreatif menulis puisi Nenden Lilis. Bagi
beliau inspirasi haruslah diperjuangkan. Rumus yang beliau bagikan untuk
menjemput inspirasi adalah aktif, baca,
dan gaul. Seluruh panca indera dipaksa
untuk selalu aktif merenungkan. Semacam kerja menyiapkan diri untuk menerima
inspirasi.
Seperti peristiwa gugurnya daun
yang diolah Nenden Lilis A. menjadi pengalaman puitik untuk puisi liris beliau
berjudul Violin.
VIOLIN[3]
sudah berapa kali kau susuri jalan aspal itu
tapi mengertikah engkau
pada daun-daun yang gugur ke atas trotoar
di puncak kemarau yang sakit
ada sebuah
hati yang terhempas anginmu
pada malam-malam yang kosong dan gamang
seorang pemabuk meracau
tentang keindahan yang bukan ditemukan pada bibir merah
tapi pada bibir hitam
lalu dengan parau menyebut-nyebut sebuah wajah
dengan lengkung alis tajam
: tahukah kau, siapakah sang pendamba itu
…
Sastra
Populer
Latar belakang pembaca yang
berbeda-beda membuat kelompok tersendiri dalam menikmati karya sastra. Tidak
semua masyarakat mau dan mampu menikmati sastra yang bermutu. Maka muncullah
sastra populer, kendati tak selalu berifat hierarkis. Sastra populer dan sastra
idealis memiliki capaian estetik dan kelompok yang berbeda.
Menjamurnya sastra populer
adalah salah satu dampak dari masifnya jejaring sosial dan pertumbuhan media
maya. Sebab hari ini orang bebas membagikan tulisannya dan bebas pula
menasbihkan dirinya sebagai apa, Maka menurut beliau peran kritikus sastra
sangat dinanti dewasa ini. Ia bertanggung jawab memberi pemahaman tentang nilai
suatu karya sastra secara hakikat. Sebab dasar mutu karya sastra bukanlah
seperti nalar media sosial, yakni bukan karena banyaknya like, comment, atau viewer.
Namun, hasil tulisan tersebar di
media sosial tidak sepenuhnya picisan. Penyeleksian yang ketat bisa diterapkan
di media manapun. Sebab media pemuatan karya sastra pun bertransformasi. Dari
majalah dan koran, hingga laman web dan beranda media sosial hari ini.
Maskumambang
buat Ibu
Selepas pertanyaan kami terkuras
habis, obrolan pun menjadi lebih cair mengalir. Beliau berbagi banyak kisah
saat hadir dalam berbagai kegiatan sastra dalam dan luar negeri. Cerita saat
membina Sanggar Ari KPIN bersama suaminya (yang ternyata pencipta Hymne
Politeknik Negeri Bandung), sentuhan dan diskusi bersama sastrawan lainnya,
pengalaman membaca beliau hingga peristiwa di balik layar lainnya. Ruang tamu
pun menjadi ramai oleh canda.
Saat pamit kami dihadiahi
kumpulan puisi terbaru beliau yaitu Maskumambang
buat Ibu. Kumpulan puisi itu istimewa sebab disajikan dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris dan memuat puisi Nenden Lilis berdasarkan tahun
ditulisnya. Sebagai penutup berikut puisi Maskumambang
buat Ibu yang menjadi judul kumpulan puisi itu.
MASKUMAMBANG
BUAT IBU[4]
apakah yang tengah kusepah dan kuhisap ini
sruas-ruas tebu yang memancarkan manis airnya
atau kasar dan kurus buku-buku jarimu
yang
mengeluarkan darah
manis atau amis telah sulit kubedakan
semenjak kusadari sepanjang hidupmu
keringat dan air mata tak henti
mengaliri setiap gurat wajahmu
rentang urat kakimu telah serupa akar menjalar
dari pohon-pohon yang kau tanam
bahkan tak kukenali lagi
kerut ataukah kisut lurik terbakar
kulit tanganmu itu
tangan yang setia mengangsur-angsur kayu bakar
demi secerek air teh yang dijerang di atas tungku
(air kasih keemasan yang tertuang dari cerat batinmu
ke cangkir
lubuk hati kami)
tangan yang tulus ngakeul nasi
di bakul
—melikatkan kehidupan agar masak terolah—
tangan yang tak lelah menumbuhkan benih di ladang
meski angin
menderu merontokkan rambutmu yang mayang
di punggung
menggelantung matahari
dan di pangkuan membenam bulan
ibu masih
harus menyangga beban gunung dan laut
tetapi, bahkan tanah yang diinjak
tak pernah
mendengar hempasan keluh
(ibu, menyadari semua itu
hatiku bagai diparut
darahnya tak
surut-surut)
Comments
Post a Comment