Dear The Pooh
sumber: provinciya.net
Cimahi, 8 Mei 2016
Puan tujuan surat yang jelita,
Pohon trembesi yang berselang-seling itu mulai
berguguran daunnya, ada banyak goresan di pokoknya, mungkin bekas paku-paku
baliho pasca kampanye, atau sisa ukiran-ukiran anak kecil yang sepertinya telah tak ada…
Kau tahu, kota ini bergerak begitu cepat.
Pribumi sepertiku punya daya apa? Sekolah dasarku akan digusur untuk berdirinya
apartemen, kebun-kebun singkong diganti jalan-jalan aspal baru, lapangan luas
untuk menikmati senja pun kini semakin
sulit ditemukan. Sanitasi menjadi korban, sungai-sungai semakin berwarna entah
dari limbah pabrik atau karena orang-orang yang mulai melarung segalanya ke
sungai: sampah, masalah, manusia. Tidak sadarkah mereka bahwa peradaban raksasa
ini berawal dan sangat bergantung pada sungai? Sejak kecil aku di sini, di kota ini; duduk
termenung. Sedikit demi sedikit menghirup asap knalpot jalanan yang semakin
membumbung. Jalan ini sedemikian suntuknya, orang-orang seakan mafhum dengan
kebisingan. Aku berjalan melewati supermarket, tempat pangkas rambut, beberapa
pangkalan ojek, juga tempat sampah. Hingga menemukanmu pada suatu pagi yang dingin itu. Oh iya, tentang tukang pangkas rambut yang sudah tua itu maksudmu?
Dia adalah langgananku. Bukan karena aku tak takut telingaku tergunting karena
tangannya yang telah gemetar, bukan karena aku suka dengan gaya rambut
guntingannya yang hanya itu-itu saja. Tapi ada lara ketika kulihat dia mengayuh
sepedanya, ada yang mengusik pikiranku ketika dia mulai terbatuk dan terengah.
Pribumi sepertiku punya daya apa? Pangkas rambut modern telah menjamur, dan
memang sudah saatnya gaya rambut mewakili orientasi kepala para pemiliknya.
Tentang tukang ojek pemarah itu yang kaumaksud? Mimpinya tentang ramainya
kembali penumpang seperti dua puluh tahun yang lalu selalu sirna. Jamikho pernah berkata pada Gengkhis Khan
kecil yang sedang dalam pelarian bahwa orang Mongol harus punya kuda, advice itu akan berganti mungkin menjadi
kuda besi jika mereka tinggal di kota ini. Kau bisa lihat
begitu jejalnya kendaraan di jalanan. Pribumi sepertiku punya daya apa? Orang-orang
semakin egois, bahkan untuk sekedar berbagi tempat bagi pejalan kaki. Sudahlah manis,
kita terlahir memang untuk merawat dunia. Tempat sampah yang berserak itu
bukankah upaya orang-orang kota agar kota menjadi lebih bersih? Dan bukankah
pembiaran keberserakan ini adalah bentuk dari realisasi visi dan misi? Maafkan
aku manis, sepertinya aku terlalu banyak bertanya dari pada menjawab.
Kartu pos baru bergambar dua
pisau kujang, berbalut batik Cirebon. Kuisi penuh dengan kata dan senja. Terlipat
acak dan kukirim bersama dalam amplop polos bertuliskan Par Avion.
Kau tahu, aku tak begitu yakin surat ini ‘kan sampai padamu, tapi jika bapak pos pengantar surat yang budiman mengunjungi
kotak pos di halamanmu yang penuh guguran mahoni itu, bergegaslah sebab kata
dan frasa itu tidak abadi. Apa kabar? Ada pelangi pada jejak hujan kemarin dan
aku langsung beringsut mengingat gelora matamu. Untung saja yang tertuang hanya
kata, bukan rasa yang sama-sama membuat kita selalu bersusah.
Aku menatap lampu jalanan, lampu
jalanan menatap langit, langit menatap kita. Pucuk-pucuk pohon bergoyang
tertiup angin sore, tapi disana terpasang juga kabel-kabel listrik yang membuat
ranting-ranting agak segan menikmati tiupan angin terlalu dalam. Masihkah
kerling matamu sehangat dulu? Entah kenapa aku mulai meragu sebab aku melihat
kau mengkhianati perkataanmu sendiri. Walau untuk bertanya pun sebenarnya aku
tak berhak. Tapi siapa yang siap kehilangan denyar galaksi tatapan apsari di
antara milyaran manusia? Biar aku kirim satu koloni Acromantula dari pedalaman Borneo kepada orang yang dengan ceroboh
menyesap lengan-lengan rotasimu. Atau kubakar meja tulisnya bersama dengan lacarnum inflamarae yang kuucap. Duh,
tapi aku hampir lupa bahwa aku tak bisa. Tersadar ternyata dirimu sendirilah
yang memutuskan hal tersebut.
Dulu ada banyak tragedi, salah
satunya kenapa aku harus melihatmu, dan kau menatapku, walau kuhitung tak lebih
dari enam detik. Kesialan bahwa aku setelahnya mengagumimu, kesalahan bahwa aku
tak mampu mengenyahkan gelora matamu. Tapi ada benarnya bila memang aku
menyukai ketegasan sikapmu, prinsip hidup seorang hawa. Kendati entah kenapa
lambat laun kau meninggalkannya.
Dari jendela kulihat rinai gerimis,
air hujan bagiku salah satu lambang keikhlasan yang terdalam, pengorbanan yang
tertinggi. Bagaimana bisa butir-butir suci dari langit itu rela membasahi tiap
jengkal tanah bumi yang berdebu, kotor, dan berjelaga akibat dosa-dosa manusia.
Betapa mengerikannya jika kita menjadi hujan, bersamaan saat ia membasuh bumi
dirinya pun menjadi hilang, tak bersisa. Di sisi lain romantika yang tercipta
seperti bau tanah, pelangi, kesegaran udara selalu mengiringi kepergiannya.
Lalu aku bertanya, apa yang mengiringi kepergianmu sekarang? Sebab takdirku
sejauh ini tak berizin melacak hadirmu kembali. Apa gelora di matamu itu masih
berdenyar seperti dulu? Aku menjadi agak khawatir walau aku tak berhak, karena
itu biarlah semua kata yang termuat di dalam surat ini merdeka. Bacalah dan
pahami semuanya. Mungkin persona dari masing-masing kita adalah genuine maka tetaplah jadi dirimu.
Selalu ada horison di setiap senja dan setiap kabut dingin memerlukan kaki
gunung untuk berteduh. Seperti itu pula kau nanti membutuhkan kaki gunung, dan
mungkin bukan aku. Biarlah aku menjadi horison yang setia menanti jingga
sandikala di senyum tipismu. Ah, kenapa soliter selalu merupa aku.
Pada akhirnya mungkin aku akan
selalu seperti ini, laksana Paz yang hidup bersama segulung ombak, Rilke yang
terluka karena tusukan mawar namun menjadikannya metafora, Kahlil yang seolah
patah sayapnya tapi tetap merawatnya. Tapi mungkin juga suatu hari nirwana
berbaik hati memberikan rengkuh peluk yang damai, tatapan sendu yang teduh, dan
air muka yang tenang, mengirimkan orang semacam Kugy Alisa Nugroho, atau Angie
Steadman, atau Alice Kingsleigh. Bersama ini kukirimkan sebuah sajak yang
tercipta karenamu, maka aku kira sudah seyogyanya menjadi milikmu jua.
Sajak dengan banyak asonansi dan
aliterasi, tertulis di atas HVS kuning 70 gram. Biar dia berkata apa yang ingin
dibaginya pada dunia.
Kesayangan
Pustakawan Sekolah
Gian
Mantap Djiwa! Diksinya begitu cantik. Lanjutkan bung!
ReplyDeleteSiap!
Deletesuka lah (y)
ReplyDeleteAlhamdulillah kalau suka, jangan lupa subscribe (y)
DeleteKerennn kader satu ini
ReplyDeleteNuhun sudah berkunjung Teh :)
Delete