Persatuan
“Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati
mereka para hamba beriman. Walaupun kamu nafkahkan perbendaharaan bumi
seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka.
Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadukan mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa,
Mahabijaksana.”
-Q.S.
Al-Anfãl: 63
Pembaca
yang budiman,
Ketika hujan selalu berderai di
awal-awal tahun ini bersama angin yang dingin serta bau tanah yang menyertainya
ada ketenangan setiap kali saya melihat butir-butir air kondensat itu membasahi
tiap jengkal tanah, mungkin juga yang pembaca rasakan. Entah benar atau tidak,
hujan memang selalu membangkitkan ingatan kita tentang sesuatu hal, contohnya
tentang permainan masa kecil kita, perasaan-perasaan yang terdalam, atau sekelebat-sekelebat
pikiran lainnya.
“Apakah
yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur
mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang
turun di selokan?”
Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah
dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.1
Namun
jika kita perhatikan orang lain dan merenungkan mungkin saja hujan tidak hanya
membangkitkan ingatan kita sebagai individu tetapi ingatan komunal kita sebagai
bangsa. Sampai saat ini yang saya pahami sebuah bangsa bisa terbentuk akibat
jejak historis sehingga kita kenal sebuah istilah dalam bahasa kita: senasib
sepenanggungan. Saat-saat sulit yang tidak kita rasakan saat ini adalah
menyantap hidangan diantara gemuruh mortir-mortir berjatuhan, tidur yang pulas
ditemani rasa was-was akan penjarahan, diskriminasi rasial ketika naik trem,
atau pajak-pajak lintah darat yang sangat berat, kita hidup disaat semuanya
telah nikmat tanpa kekangan satu orang pun jua. Arti sebuah kemerdekaan akan
sangat kita hargai jika barangkali saat-saat yang sulit itu kita rasakan
sendiri, hingga saya tergelitik oleh sebuah pertanyaan: apakah mampu bangsa kita
bersatu tanpa adanya desakan kolonialisme? Kesukaran pertanyaan itu akan dapat
kita mengerti ketika kita membaca dengan jujur sejarah dan memahami kenapa
Patih Gadjah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa yang mashyur itu.
Saat-saat kehidupan bangsa kita
tengah riuh rendah dan tak kunjung bertentu tuju bagi kemashlahatan rakyat, ada
sebentuk kegelisahan yang tercipta dan sebenarnya telah menggunung. Umat sekarang kebingungan di persimpangan jalan, terlanda
egoisme sempit dan semangat berfirqah-firqah. Padahal seyogyanya persatuan bangsa atau Ukhuwah
Wathaniyah adalah cerminan dari Ukhuwah
Islamiyah yang kuat. Siapapun yang mengaku pribumi tidak bisa memungkiri
peranan kaum santri, ulama tradisional, ulama moderat, dan diplomat serta kaum
terpelajar muslim dalam upaya kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Maka tindakan
yang sangat diskriminatif jika menganggap persatuan bangsa terhalangi oleh
orang-orang yang berpegang teguh pada agamanya. Orang-orang yang menuntut
kebhinekaan dewasa ini
ternyata tak lebih dari orang-orang yang tidak menghargai perbedaan itu sendiri. Kita dihormati
dunia karena kesantunan kita, bukan karena kepandaian yang berbisa, bukan juga
karena lisan yang tak terjaga dan berbuah kesakitan yang berlarut, karena
sesungguhnya sikap adalah pantulan apa yang ada di dada, sementara kata dan
frasa ialah hasil dan bersumber dari apa yang bersemayam di kepala.
Maka salah satu poin penting dalam persatuan adalah
hadirnya pemimpin yang diridhai oleh semua lapisan masyarakat dan umat.
Pemimpin yang paripurna,
yang tidak hanya pandai beragitasi namun dekat juga dengan Tuhannya. Pemimpin
yang punya kejelasan visi, bukan pemimpin yang terpatronase dan harus berbalas
budi.
***
Sel
Nomor 5
Sumber:
myeatandtravelstory.wordpress.com
Ketika saya berkunjung ke situs Penjara
Banceuy dan melihat dengan sendiri sel sempit nomor lima tempat Bung Karno
dibui, ada kegetiran bercampur kebanggaan pada diri saya. Di kamar yang tidak
lebih dari 1,5 m x 2,5 m itu di kemudian hari akan lahir sebuah pledoi
pembelaan dan salah satu kesadaran awal tentang persatuan: Indonesia Menggugat.
Setidaknya kita pernah punya pemimpin yang penuh gelora dan semangat berdikari
yang tinggi terlepas dari segala sisi uncontrollable
yang dimilkinya. Di antara ruko-ruko padat yang ramai dan ribuan pelancong
Pasar Baru, saya merasa sangat terasing dan soliter melihat pigura kecoklatan
dan ranjang lusuh di sel itu sendirian. Untung saja saya sempat membaca semua
poster dan berkeliling ke semua sudut yang tersisa dari bangunan ini, setelah
mengajak beberapa teman merogoh saku sebagai bentuk dukungan bagi perawatan
tempat bersejarah ini, saya pergi dan membeli gorengan di depan Kopi Aroma. Di
perjalanan saya teringat puisi Taufik Ismail yang pernah beliau bacakan di
salah satu acara televisi, dan mungkin ada baiknya bila saya sajikan sebagai
penutup.
Ketika Indonesia Dihormati Dunia2
Taufik Ismail
Dahulu di
abad-abad yang silam,
negeri ini
penduduknya begitu serasi dalam kedamaian.
Alamnya indah,
gunung-gunung dan sungainya rukun berdampingan.
ciri utama yang
tampak adalah kesederhanaan
hubungan
kemanusiaannya adalah kesantunan dan kesetiaan
dan semua ini
fondasinya adalah keimanan.
Pemimpinnya jujur
dan ikhlas memperjuangkan kemerdekaan
berbagai babak
sejarah dilalui
babak proklamasi,
orde lama, orde baru, sampai reformasi.
Kita dikenal, kita
dikenal karena
korupsi
di Republik Rakyat
Cina, koruptor di potong kepala
di Kerajaan Arab Saudi, koruptor di potong tangan
di Indonesia,
koruptor di potong masa tahanan.
Kemudian kita bertanya
masih adakah orang jujur di negeri
kita?
adakah? Masih
ada, masih ada
tapi mereka tidak bersuara.
masih adakah orang waras di negeri kita?
adakah? Masih
ada
tapi mereka tiada berdaya
masih adakah orang berakhlak di negeri kita?
adakah? Masih
ada
tapi mereka tidak berwibawa.
masih adakah orang ikhlas, orang ikhlas di negeri kita?
adakah? Masih
ada
tapi mereka dianggap tiada.
Tapi saudaraku, saudaraku
tak ada cerita putus asa
kita tak akan angkat tangan menyerah kalah
ini, sekarang ini kita sedang berperang
ibarat perang, perang ini harus, harus kita menangkan.
Masih adakah harapan bagi kita bangsa Indonesia?
masih adakah?
Alhamdulillah masih ada
karena ada nur, ada nur di atas nur memancar sampai
kepada kita
Alhamdulillah masih ada orang jujur, orang waras
berakhlak,
dan ikhlas
masih banyak di antara kita
Ya Allah ya Allah
beri mereka
kesempatan muncul, mereka muncul bersama
muncul bersama
menyembuhkan penyakit bangsa
gara-gara demokerasi serba uang
demokerasi yang
tamak
demokerasi yang
serakah dan kebablasan ini
Ya Allah ya Allah
perkenankanlah kiranya ya Allah
Perkenankanlah
Amiiin*
Catatan
1. Sapardi D. Damono, Hujan Bulan Juni. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2015, hlm.36
2. Taufik
Ismail, Ketika
Indonesia Dihormati Dunia. Diambil dari episode Elegi
Reformasi pada
video.metrotvnews.com/play/2014/05/14/241908/mata-najwa-elegi-reformasi-,
edisi Rabu, 14 Mei 2014, segmen 7.
Comments
Post a Comment