Poetica de Kantin Salwa
“People who love to eat are
always the best people.”
-Julia Child
Sesampainya
di pangkal gang terlihat tiang karatan serta pucuknya yang menjorok bertuliskan
Kantin Salwa. Jika kita berjalan memasuki
gang tersebut kira-kira 5 meter akan ada sebuah warung nasi sederhana di
sebelah kanan jalan yang memajang telur dadar hingga tumis kikil pada
piring-piring yang lebar, itulah Kantin
Salwa yang melegenda. Entah sejak kapan legenda ini terbentuk yang jelas
jawaban yang aku terima saat aku pertama kali bertanya tentang tempat makan
yang murah dan berkwalitet, selalu nama warung makan ini yang disebut. Sebenarnya
tak ada Lasagna, Pavlova, atau Wagyu Teriyaki bahkan menu yang
ditawarkan Kantin Salwa tak ada
bedanya dengan warung makan lain. Tapi mungkin ada hal lain yang tak banyak
orang lihat dan hanya bisa mereka rasakan.
Sesampainya di depan pintu, warung
makan itu sudah penuh sesak. Jika kau tahu kampusku dan makhluk-makhluk parewa
yang mudah lapar di dalamnya, mungkin akan ada rasa iba melihat mereka harus
sedikit bejubel dan mengantri. Pemandangan ini terjadi akibat pusat
jajanan serba ada kampus yang hangus terbakar sehingga kaum-kaum feodal ini harus mencari pengganjal perut di luar lingkungan kampus. Teriknya matahari menunjukkan jam makan siang, dan
sepertinya orang-orang begitu bergegas memenuhi riak panggilan perutnya. Aku masuk
dan berusaha memesan, setelah memakai jasa konsultasi sebentar aku memilih ayam
kecap dan nasi hangat-perbaikan gizi-juga sesendok sambal ijo. Aku duduk di
pinggir meja bundar, memegang piring dengan tangan kiri dan tiga jari tangan
kananku dengan gesit mencomot suwir demi suwir daging ayam kecap serta
menyertakannya dengan sambal ijo yang digerus kasar. Kenikmatan surgawi yang
hakiki. Aku tengadahkan muka menghadap televisi yang mungkin menyala sejak
pagi, tersiar sinetron India klise namun tetap saja kutonton. Begitu syahdu
suasana yang tercipta, membayangkan sudah berapa orang duduk di kursi plastik
ini, menikmati ayam kecap dalam senyap. Sudah berapa perut yang pergi dengan
kenyang sejak Kantin Salwa berdiri,
atau mungkin sejak Politeknik berdiri. Dalam sepersekian detik aku merasakan Aleph, walau pada keadaan yang agak
minimalis mungkin.
Aku sedang melihat cahaya, melihat tempat
kudus, dan ada suatu gelombang yang menerpaku, memenuhiku dengan kedamaian dan
cinta, dua hal yang jarang sekali datang berbarengan. Aku bisa melihat
gajah-gajah di Afrika melambai-lambaikan belalai-belalainya, unta-unta di
padang pasir, orang-orang yang mengobral di bar Buenos Aires, seekor anjing
yang menyeberang jalan, kuas di tangan seorang wanita yang sedang melukis mawar,
salju yang meleleh di pegunungan di Swiss, biksu-biksu yang mengumandangkan
himne-himne eksotis, peziarah yang tiba di katedral Santiago de Compostela,
gembala dengan domba-dombanya, para serdadu yang baru saja terbangun dan
bersiap-siap untuk perang, ikan-ikan di samudra, kota-kota serta hutan-hutan di
dunia-serta segala sesuatu yang secara serempak tampak sangat jelas dan sangat
besar, sangat kecil dan sangat tenang.1
Makanan
dan minuman juga proses membuatnya yang disebut memasak memilki ciri khas dan seninya
sendiri. Dari dulu aku suka menonton acara masak-masak, apalagi saat Ramadhan. Walau
akhirnya hanya begitu-begitu saja dan kadang ada begitu banyak ilusi penampilan
juga rasa, tapi tetap saja mengasyikan. Menonton acara masak-masak menurutku sama
halnya ketika kita sedang mendengarkan acara bedah buku. Lebih banyak hanya
bumbu sana sini, namun terkadang bisa menambah apresiasi kita terhadap hasil
karya si mpunya. Proses memasak dan cara penyajian juga ternyata sangat ampuh
untuk merepresentasikan suatu kebudayaan, seperti botram dan liwet di Jawa
Barat, pawon anget di Yogjakarta,
atau keplek ilat di Surakarta. Sudah saatnya kita kembali menghidupkan
sunnah dalam makan dan minum rupanya, dan mungkin saja ini menjadi begitu
darurat bagi kita.2
***
Apa
yang kita masukkan ke dalam perut akan sangat berpengaruh pada apa yang
dirasakan jiwa, serta bagaimana kita memperlakukan makanan secara langsung
menunjukkan siapa kita. Kesadaran inilah yang dirasakan betul oleh Sa’d ibn Abi
Waqqash.
Allahu
Akbar! Semua hal ini adalah keutamaan
Sa’d ibn Abi Waqqash. Semua ini menunjukkan kemuliaan dan ketaqwaannya
dengan doa-doa yang selalu diijabah. Itulah memang yang pernah dia minta kepada
Sang Nabi saat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menawarinya untuk didoakan.
”Doakanlah aku Ya Rasulallah,” kata Sa’d, “Agar doa-doaku sendiri mustajabah!”
Sebuah permintaan yang cerdas dan menakjubkan. Ketika itu Sang Nabi menjawab,
“Bantulah aku hai Sa’d, dengan memperbaiki makananmu.”3
sumber: wajibbaca.com
Catatan:
1. Paulo Coelho, Aleph. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2013, hlm. 92.
2. Salim A. Fillah, “Dua MADZHAB
Darurat HANGAT”, SALIMAFILLAH.com:
Rajutan Makna, (salimafillah.com/dua-madzhab-darurat-hangat/, diakses pada
9 Mei 2017).
3.
Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah.
Yogyakarta: Pro-U Media, 2010, hlm 99.
mantap kang
ReplyDeleteAlhamdulillah, baca juga yang lainnya ya haha
DeleteKantin salwa yg di ciwa Ian?
ReplyDeleteIya fa, emang ada lagi Kantin Salwa selain di Ciwa?
DeleteBisi weh Kantin Salwa Pujas haha
DeleteNgarang ni anak.
DeleteBagus 👳
ReplyDeleteMantap. selamat membaca yang lainnya ;)
DeleteDari aku masih kuliah di poltek yaa salwa ciwaruga buruannya sederhana mengenyangkan.. lovely moment has you share.. thankyou gian..
ReplyDeleteSama-sama Bu 👏
Delete