Menjadi Ayah
Muara Labuah, 1 Oktober 2022
Kutulis surat ini selepas shubuh yang sepi. Hujan menampiaskan malam. Tak memberikan waktu sedikit pun bagiku untuk keluar melihat kota menjelang padam. Sedang di dadaku terus bergema namamu. Seperti biasa -- apakah kau bisa mendengarnya kali ini? Namamu menjelma kerawanan, setiap pagi. Selalu menjadi sisa malam yang tak pernah bisa kutolak. Selepasnya aku hanya bisa mengakui bahwa aku merindukanmu.
Manisku,
Kutulis surat ini di tempat yang dulu hanya bisa kukenal dari atlas atau peta di dalam kelas. Kota-kota yang kukunjungi selama beberapa waktu terakhir ini barangkali adalah tempat moksa terbaik. Kota yang lekas mati bila minyak bumi tak ada lagi. Kota kosong yang diisi kesibukan pegawai, perantau, dan pelanggar aturan lalu lintas.
Namun bukankah semua kota telah menjadi demikian? Tak ada yang ingin terikat dengan tempat semacam itu. Tak ada yang hendak pulang untuk menghadapi rutinitas kemarahan demi kemarahan.
Manisku,
Kenapa dunia hadir kepada kita sebagai wajah yang menjemukan? Bila aku diizinkan menjadi anak kecil kembali yang pandai berdoa, aku hanya akan meminta satu hal. "Allah Tuhan yang Maha Perkasa, jadikan aku orang yang kuat. Tak perlu menjadi yang paling kuat sehingga aku akan menindas. Tapi cukup kuat untuk melindungi istriku, anakku, dan seluruh keluargaku." Karena ada beberapa hal kusadari setelah dewasa. Di antaranya, selalu ada bajingan yang kita dengar kejahatannya setiap hari. Dan mereka tidak sedikit. Bahkan banyak dan berlipat ganda.
Istriku yang baik,
Sepertinya tak lama lagi kita akan membesarkan seorang manusia. Apakah kita layak? Tak semua pertanyaan harus kita jawab. Tapi yang pasti aku tak akan menyerah menjadi seorang ayah.
Comments
Post a Comment