Membersamai Angin

sumber: duniaely..com
4 Oktober 2015

            Angin hari ini begitu semangat mendedahkan debu, menjatuhkan daun kering, bakal buah, dan banyak kelopak murung. Entah kenapa lara matamu terasa begitu dekat menghangatkan darah yang mengigil karena musim ini. Kurasa tiada salahnya merindu, taburan mahkota yang kubayangkan ialah tulip mekar, juga jika boleh ‘kan kukalungkan serantai melati putih.
            Yakinkah kamu melaju bersama seseorang sepertiku. Manis, bila kau adalah edelweiss, mungkin takkan pernah kupetik cantikmu.
Walau Lembah Mandalawangi pun tahu, itu tidak mempengaruhi kehadiranmu. Aku adalah bintang kembar rasi gemini, jutaan debu kosmis telah penuh di mukaku. Tapi kau andromeda, megah dan disukai bahkan oleh sinar lunar temaram. Kau punya konstelasi, sedang aku hanya menunggu supernova. Manis, biarkanlah aku mendekat beberapa tahun cahaya. Lebih intens mencium harum cakram di lengan rotasi yang membuatmu menari.
            Ombak yang bergulung, terpaan rona senja. Ah, itu kerling matamu, bersimbah deras merelungi jiwa. Betapapun aku berlari tetap terbias membayang rengkuh tubuhmu. Kencangkan larimu angin, sampaikan peluk yang memburu ini.
 

            27 Juni 2016

            Ketika kukayuh kereta anginku hari ini, angin dengan garang menerpa wajahku. Ada rasa nikmat yang tak bisa dijelaskan, begitu lugas untuk dirasai tapi begitu sulit digambarkan. Aku mulai berpikir bagaimana jika aku menjadi angin, menyentuh puncak-puncak cemara sehingga bergoyang, menyentuh pipi merah muda itu yang tersipu malu.
Jika aku menjadi angin mungkin aku takkan kembali, aku hidup untuk menerbangkan induk-induk burung demi mencari makanan, menerbangkan layang-layang yang dengan girang dimainkan oleh anak-anak kolong jembatan sembari menunggu ibunya menyuruh mandi. Ada rasa sepi yang begitu kuat menjadi angin, kau tidak pernah tahu dimana asalmu dan entah sampai kapan kau tak bertentu tuju. Angin tak pernah lelah membawa setiap rintik rindu hujan pada tanah, menyemaikan dandelion hingga jatuh bertumbuh, menemani bunga-bunga mangga hingga berbuah. Ah, angin memang berupa bisik, bertubuh ragu namun bertekad kuat. Hingga takdir menjadikannya auman yang mengerikan, tunduk patuh sebagai peringatan dari Penguasa Alam. Dibawanya segala pilu, rintih, dan jeritan menemui sudut-sudut hidup yang tak pernah lelah berbuat lalim. Manusia mulai bertanya, masihkah kurir rindu itu dapat meniup rambut-rambut ikal dibawah lembayung senja?
            Ada getas-getas yang aneh dalam hati ketika kita memperhatikan sekitar, membayangkan begitu masif semua penciptaan ini. Aku dan kereta anginku hanya bisa melaju perlahan, berusaha menikmati kontemplasi-kontemplasi pada sore hari ini. Beberapa dari kita mungkin mulai tercerahkan karena pada dasarnya semua yang terhampar di dunia ini begitu relijius, maka beruntunglah orang yang dengan peka menulis semua keajaiban itu.

***
            Kayuhan demi kayuhan semakin terasa berat membuat serotoninku berkurang sepertinya. Secara intuitif kutepikan kereta anginku, yang tertangkap basah telah berbusa mulutnya, suatu saat mungkin aku akan memertimbangkan kuda besi tapi dengan varietas yang lebih ramah lingkungan. Tapi aku bersyukur, dengannya aku bisa melihat untuk pertama kali ahli tambal ban beraksi. Allah memang telah menciptakan manusia dengan begitu banyak potensi, hanya saja mereka kurang banyak belajar dari angin.

Comments

  1. Dahsyat nya angin membelai kerudung merah jambu.. lovely yours windy

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts