Penyair Tersesat dan Oasenya

sumber: store.oase-usa.com


Jalanan Bandung pada malam ini terlihat begitu puitik, secara alami membuat bulu kuduknya berdiri. Membangkitkan nalar sastrawi dirinya yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Tiba-tiba Raihan begitu merinding, teringat perasaan yang hampir sama dituliskan Soe Hok Gie dalam catatan harian menjelang kematiannya. Hanya perbedaannya sekarang mereka merasakannya pada dua kota yang berbeda dan secara geografis berjauhan. Gie menggambarkan suasana melankolik itu dengan lampu-lampu jalan yang bersinar dengan warna-warna baru, seolah semacam penerjemahan dari kombinasi wajah kemanusiaan. Namun Raihan menjadi malas merasakan itu semua, teringat bahwa buku catatan Gie itu ia dapatkan saat masih remaja, saat-saat ia masih merasakan sikap kepenyairan yang jelas dari dirinya. Kali ini ia lebih memilih menangis lirih, tidak berteriak tidak juga meraung. Sambil berjalan kaki seakan ia hanya ingin tangisnya hanya terdengar oleh desau angin yang menatap gemintang berlatar tampiasnya rintik hujan malam ini.
***
Dulu ketika masih remaja ia selalu terkesima mendengar berita tentang keberanian deklamasi-deklamasi puisi Rendra, sangat subversif dan berbahaya. Namun di sisi lain negeri ini dia pikir memang butuh sesuatu yang subversif untuk memahami sesuatu yang konstruktif waktu itu. Setiap hari minggu tak pernah Raihan lewatkan mengunjungi jejeran toko buku bekas di daerah Palasari. Berburu buku-buku sastra yang belum sempat ia baca menjadi kesukaannya, kadang ketika uang jajannya habis atau tabungan yang ia kumpulkan selama seminggu terpakai untuk keperluan lain, ia bisa seharian membaca buku yang ia incar disana sebelum minggu depan atau suatu saat buku itu ia beli juga. Ada kekaguman ketika ia membaca biografi Bung Hatta, seorang kutu buku yang luar biasa. “Jika nantinya aku dipenjara, aku akan tetap merdeka bila ditemani dengan buku laiknya Bung Hatta,” pikirnya dengan bangga waktu itu. Selain itu Raihan menganggap Bung Hatta sebagai panutan cerdas, seorang alim yang tidak memisahkan agama dan pengetahuan, ia juga menganggap Bung Hatta sebagai politikus yang tetap humanis, pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden setelah melihat praktik kotor revolusi adalah contohnya. Kadang ia tersenyum kecil mengingat masa-masa itu. “Hah, masa-masa yang indah,” gumamnya dalam hati. Tapi hari ini sesuatu yang besar telah terjadi dalam hidupnya, atau hanya perasaan hiperboliknya saja. Ia mulai menangis lagi, kakinya pun terus melangkah.
Keluarganya tak pernah menyukai sastra terutama ayahnya, mungkin karena keluarganya yang terhormat membuat pandangan realistis begitu melekat dan hampir menjadi paradigma. Hal inilah yang menyebabkan Raihan harus mengubur dalam-dalam nalar sastrawinya. Setelah lulus SMA ia berencana disekolahkan oleh ayahnya ke sekolah tinggi kedinasan milik pemerintah. Walau ia sempat berusaha membuat ayahnya mengerti.
“Yah, aku sebenarnya ingin kuliah sastra,” katanya setelah mengumpulkan keberanian.
“Raihan, dunia ini bukan dongeng seperti dalam cerita-ceritamu,” tukas ayahnya.
“Aku mengerti Yah, tapi aku berpikir aku akan lebih baik jika aku melanjutkan pendidikanku sesuai dengan apa yang aku mau,” jawab Raihan.
“Ray, dalam hidup ini kita tak selalu bisa melakukan apa yang kita inginkan,” setelah kata itu keluar dari mulut ayahnya, Raihan tahu pasti dia akan kalah lagi.
Raihan menyadari ini sebuah kepercumaan, ayahnya takkan mengizinkannya kuliah di jurusan yang kurang bonafid, setidaknya bonafid di persepsi ayahnya. Raihan akhirnya sekali lagi mengalah pada ayahnya. Mengemasi barang dan bersiap tinggal di asrama.
Kecerdasannya membuat Raihan menjalani kuliah tanpa kesulitan dan lulus dengan memuaskan. Setelah menjalani masa kedinasan selama beberapa tahun ia pun direkrut oleh sebuah perusahaan tambang milik asing di Indonesia, maka ia pun pindah ke Ibu Kota Jakarta, tempat segala keduniawian berkumpul di sana. Bak bola salju karirnya meluncur cepat menggeser senior dan para pesaingnya. Hingga akhirnya dua tahun ini ia telah menjadi salah satu pucuk pimpinan di perusahaan itu dan memegang hampir setengah saham. Kesuksesan yang tak pernah ia berani khayalkan bahkan dalam mimpi sekalipun dan yang istimewanya semuanya ia raih dalam usia yang baru menginjak kepala tiga. Suatu saat ketika ia masih remaja ia sempat berpikir untuk hidup secara liar, nakal, bohemian seperti Rilke ataupun Chairil Anwar, tapi entahlah ia mungkin memang ditakdirkan menjadi nice guy, menjadi orang baik. Takdir itu pula mungkin yang menjawab mengapa ia bisa memperistri wanita seindah Shania. Wanita yang seakan melengkapi semua kesuksesan yang telah ia raih. Ketika kuliah dulu Shania selalu berkerudung dengan warna pastel cerah, hal yang selalu Ray suka karena hal itu menambah keanggunan Shania. Raihan bertemu dengannya pertama kali suatu saat di perpustakaan kampus. Ada ihwal yang membuat Ray percaya cinta pada pandangan pertama, yaitu pertemuan ajaibnya dengan Shania. Waktu itu Shania sedang mencari salah satu buku di sana, awalnya Ray acuh hingga ia menatap mata Shania untuk beberapa detik. “Eureka!” teriaknya dalam hati seperti seorang ilmuwan Yunani. Mata Shania bulat hitam, berbinar laksana lembayung di waktu senja. Geloranya hampir saja membuat Ray tak percaya, seperti semburan kehidupan yang selalu ia cari selama ini. Akhirnya Ray membantu Shania untuk mencari buku yang ia butuhkan, karena sebenarnya Ray mengetahui isi perpustakaan ini lebih dari siapa pun, maklum saja jiwa kutu bukunya tak bisa ia padamkan sepenuhnya.
“Kau pernah mendengar dongeng Putri Tidur?” tanyanya agak kaku ketika sampai di salah satu rak buku yang mereka cari.
“Tentu saja aku pernah,” jawab Shania, begiitu lembut.
“Kukira Putri Tidur telah menemukan pangerannya.”
“Oh ya, benarkah? Maksudmu?” mata bulat Shania terbuka lebar.
“Mudah saja aku melihatnya hari ini terbangun dan sedang mencari buku.”
Shania tertawa geli setelah mendengar kalimat terakhir Ray. Itu membuat Ray menahan napas, “Kupikir aku berhasil,” gumamnya dalam hati.
“Ngomong-ngomong aku Raihan, panggil saja Ray,” jantungnya berdebar.
“Aku Shania, aku pikir aku lebih suka memanggilmu pemandu.”
“Kenapa?” tanya Ray.
“Mudah saja, karena kau telah memanduku mencari buku dan karena pujianmu tadi, aku sangat berterima kasih,” Shania tersenyum tipis.
Muka Ray memerah, “Kalau pikirmu begitu, aku tak bisa memaksa,” dia pikir ini permulaan yang bagus.
Setelah itu mereka berpisah dan Ray semakin sering berdiam di perpustakaan untuk bertemu Shania. Dan Raihan mulai berpikir, perpustakaanlah sebenarnya tempat paling romantis. Tetapi semuanya begitu cepat berubah, beberapa minggu kemudian, Ray sempat pesisimis mendengar kedekatan Shania dengan orang-orang populer di kampus, dia juga merasa memang tak cocok untuk wanita seindah Shania. Dengan segala kemampuannya ia mulai membunuh rasanya untuk Shania walau mereka masih sering berjumpa di perpustakaan. Dan mereka benar-benar berpisah selepas hari wisuda. Kadang ia menggigil ketika mengingat masa-masa itu, “Masa-masa yang suram,” gumamnya dalam hati.
Entahlah, betapa bertuahnya perpustakaan bagi Raihan, suatu hari ia dipertemukan kembali dengan Shania di gudang buku itu. Namun kali ini perpustakaan Kota Bandung atau Dispusipda yang menjadi tempatnya, hari itu ia sedang menghabiskan jatah cuti akhir tahunnya dan tentu saja ia takkan melewatkan kesempatan berharga ini untuk sekedar membaca buku. Dan tak pernah ia terka bisa kembali menemukan gelora mata itu, mata bulat hitam yang sedang memindai buku di salah satu rak besar. “Ya Tuhan,” pikirnya tak percaya.
“Aku kira sekarang Putri Tidur lebih suka membaca buku dari pada berdiam diri di istana,” goda Ray sambil mengambil salah satu buku di dekat Shania.
“Ray? Wow, sedang apa kau di sini? Maksudku apa kabar?” tanya Shania heran.
“Aku sedang berlibur, tapi aku tak bisa berlibur tanpa buku,” jawab Ray.
Shania tersenyum tipis, itu mengingatkan Raihan pada pertemuan pertama mereka. Shania bercerita ia sedang menjalani masa kedinasannya di Tanjung Priok, mengurusi cukai dan sebagainya. Shania juga bercerita bahwa dia sedang mengantar adiknya mencari buku untuk referensi skripsi.
“Wah, jadi sekarang Putri Tidur menjadi pemandu buku juga.”
Shania tertawa kecil, “Tapi kamu tetap menjadi pemandu terbaik,” jawaban Shania ini membuat muka Ray kembali memerah.
Setelah pertemuan yang menakjubkan itu mereka kembali dekat, namun perlu waktu satu tahun bagi Ray memenangkan pergulatan dengan hatinya. Menyingkirkan perasaan bahwa ia tak pantas untuk Shania, perasaan bahwa cinta tak harus memiiki. Akhirnya ia beranikan diri menyatakan apa yang tersimpan dalam dada selama ini. Ray mengirim sepucuk surat untuk Shania, surat yang telah dibuatnya dengan menyobek ratusan lembar kertas, surat yang membuatnya terjaga siang dan malam. Ia masih ingat satu bait penutup dalam suratnya itu.
Aku memang bukanlah pangeran yang menemui kecup tidurmu. Tapi setidaknya aku tahu siapa putri di hidupku. Aku tak mau menyebut ini cinta, tapi rasa ini takkan ada untuk yang lain. Sejak awal pertemuan kita yang ajaib, aku menemukan kedamaian dalam gelora matamu. Indah berbinar, laksana oase di kering kerontangnya Sahara hidupku. Entahlah Shania, semua ini akhirnya meluap juga setelah sekian lama kututup rapat. Dan bersama surat ini aku sampaikan padamu, walau desau angin dan temaram bulan telah berkali berusaha menyampaikannya. Pada akhirnya semua kata ini telah merdeka ketika kau membacanya, yang aku ingin bukan sebuah pernyataan atau balasan yang sama, yang aku ingin hanya kau mendekap semua perasaanku ini hingga menyublim merasakan kedamaian yang telah kurasakan juga selama aku mengenalmu. Terima kasih Shania.
Setelah Shania membaca surat Raihan itu, beberapa hari kemudian Shania menelpon Ray untuk menyatakan sikapnya. Shania berkata bahwa ia hanya ingin hubungan yang serius. Bukan hubungan yang picisan seperti yang dijalani remaja-remaja. Ia berkata bahwa satu-satunya hubungan yang serius itu adalah pernikahan.
“Jika apa yang engkau katakan itu benar Ray, datangilah ayahku, ambillah restu dari dia dan ibuku. Ciri khas laki-laki adalah tanggung jawab, dan tanggung jawab itu dapat laki-laki buktikan hanya dalam hubungan yang serius dan pernikahanlah wadah satu-satunya,” kalimat terakhir yang Shania sampaikan dalam telepon itu membuat Ray mengerti apa yang harus ia lakukan.
Selama 3 bulan Ray mendekati keluarga Shania, dan ternyata saingan yang ia miliki pun tidak tanggung-tanggung, dari mulai anak saudagar kaya hingga pucuk pimpinan tentara. Tapi berkat kesungguhannya dan prestasi kerja yang dapat ia raih akhirnya ayah Shania memberikan restunya kepada Ray. Sesuatu yang lebih berharga dari berlian manapun di muka bumi, Ray menyadari hal itu.
“Nak Ray, Shania sudah bercerita banyak tentang kamu. Dan dari ceritanya menyiratkan bahwa kalian memang sudah dekat cukup lama. Kamu harus tahu bahwa Shania adalah anak bapak yang istimewa. Dia adalah perempuan yang selalu menjaga kehormatannya, anak yang berbakti pada kedua orangtuanya. Bapak hanya minta kamu dapat menjaga dan membahagiakannya selalu. Ibu bercerita bahwa kamu juga memiliki agama yang baik dan memang itulah yang paling utama sebagai suami yang baik. Bapak percaya padamu, kamu dapat menjadi imam yang baik untuk Shania,” kata-kata itu begitu sakral Ray dengarkan dan resapi, dan tak terasa air mata merembesi pipinya. Raihan menangis haru.
Dengan didapatkannya restu orang tua Shania, Ray pun menyiapkan pernikahannya dengan semangat, ia pun bekerja lebih giat. Pernikahan itu tidak terlalu mewah, digelar di awal bulan Juni, pertengahan tahun. Pada hari pernikannya itu Raihan untuk pertama kalinya melihat Shania berdandan atau tepatnya didandani, walaupun ia lebih suka Shania yang apa adanya namun ia tidak bisa memungkiri kecantikan Shania bertambah berkat dandanan itu, bertambah pula lah keyakinan bahwa ia memang telah menemukan putri dan oasenya.
Shania adalah saksi kesuksesan perjalanan karir Raihan yang luar biasa. Di sisi lain Shania mampu menjadi penyeimbang ambisi-ambisi suaminya. Sejak disunting oleh Raihan, Shania memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan fokus menjadi istri yang baik. Dan ketika Shania mengandung anak pertama mereka tiga tahun lalu, Ray memutuskan untuk pindah ke Bandung, selain lebih dekat dengan kelurga mereka, Bandung adalah kota kenangan dan mungkin Ray ingin Bandung menjadi kota dimana mereka menutup mata untuk terakhir kalinya. Walau pada awalnya Ray harus pulang dan pergi Jakarta-Bandung, namun perusahaannya yang sekarang, yaitu perusahaan tambang milik asing membolehkannya memimpin kantor cabangnya di Bandung dan hal ini membuat Bandung benar-benar menjadi kotanya. Sekarang Raihan tahu perbedaan dirinya dengan Kahlil Gibran, memang kata-kata Kahlil jauh lebih indah dibandingkan Ray, namun setidaknya ia dapat mengungguli Kahlil ketika ia mampu mendapatkan cinta pertamanya, yaitu Shania Rahma.
***
Sebulan terakhir ini ia semakin tak nyaman melihat praktik-praktik kotor di perusahannya. Namun tak pernah ia mengira bahwa rapat direksi tadi pagi yang diselenggarakan di Bandung menjadi puncak kekecewaannya. Para pemimpin perusahaan sepakat untuk membuka lahan potensial geothermal baru di daerah Pangalengan, yang nantinya energi itu akan dikonversi menjadi listrik oleh sebuah pembangkit bertenaga uap yang dihasilkan panas bumi tersebut. Tapi yang Ray tak suka adalah rencana mereka mengambil lahan itu. Para pemimpin perusahaan berusaha menekan biaya pembangunan sekecil mungkin, dan itu berimbas pada bagaimana mereka menawarkan harga bagi para pemilik lahan di sana. Sekarang lahan potensial panas bumi itu adalah lahan perkebunan holtikura yang sudah ada sejak dulu sebagai penghasil sayuran unggulan di Jawa Barat. Secara tidak langsung para pemimpin perusahaan berusaha menjebak para pemilik perkebunan itu dengan hanya dua pilihan, yaitu mengambil tawaran harga yang makin lama makin menurun atau tetap kekeh menentang yang akan berbuntut pada konflik berkepanjangan yang tentu saja pada akhirnya akan dengan mudah dimenangkan oleh pihak penambang.
“Tapi Pak, selain ini bertentangan dengan nilai perusahaan kita yang seyogyanya membangun masyarakat di sekitar master plan, rencana itu juga bisa membuat buruk citra perusahaan kita yang sedang berkembang jika diketahui oleh media,” ucap Ray kesal kepada pemimpin rapat.
“Pak Ray, kita itu harus realistis. Kita tak bisa mengambil lahan itu tanpa cara ini. Lagipula hampir seluruh perusahan menggunakan cara ini sekarang ketika akan mengambil alih lahan baru,” Ray mengerutkan dahi, jawaban pemimpin rapat itu mengingatkannya pada jawaban ayahnya dulu, ketika ia meminta untuk diizinkan kuliah sastra.
Karena sepanjang rapat itu berlangsung tak ada peserta rapat yang mendukung dan menggubrisnya, Ray memutuskan untuk keluar dari ruang rapat itu sebelum rapat ditutup, walau mata para direktur menatapnya tajam dan ia sadar segala konsekuensi telah menunggunya. “Setidaknya aku bisa pulang cepat hari ini,” hiburnya dalam hati. Di perjalanan dalam mobil, ia melamunkan banyak hal, mungkin beberapa minggu ke depan ia berpikir akan dipaksa menjual sahamnya dan mendapatkan pesangon yang makin lama makin menurun nilainya atau dia akan dibuat tak betah sehingga memutuskan mengundurkan diri tanpa mendapatkan apapun. Pilihan yang sama menjebaknya seperti yang tak lama lagi akan diterima pula oleh para pemilik lahan itu. Mulai terdengar kembali suara riuh rendah penonton ketika ia waktu remaja membacakan puisi-puisinya, entah kenapa begitu mendengung di telinganya hingga ia tak sadar, di suatu tikungan pengendara sepeda motor yang berboncengan berusaha menyalipnya dari arah kiri bersenggolan dengan mobilnya dan akhirnya tersungkur menuju aspal panas dan berteriak kesakitan. Ray bingung keluar dari mobilnya, dari yang ia lihat sang pengendara mengalami patah tulang sikunya karena menahan beban motor saat terjatuh, dan rekannya dengan marah menelpon polisi. Birokrasi membuat Ray dan mobilnya diangkut ke Kantor Polisi terdekat. Di Kantor Polisi ia bisa saja membela diri dengan mengatakan pengendara motor itu melanggar peraturan dengan menyalibnya dari arah kiri, namun ia masih bingung dengan apa yang terjadi, juga entahlah ia merasa malas untuk melakukan hal itu. Ray dibebaskan dari semua tuntutan karena dalam pemeriksaan tidak ditemukan unsur kesengajaan, hanya saja ia diwajibkan membayar ganti rugi pada si pengendara sepeda motor, selain itu mobil dan surat-surat kelengkapan mengemudinya sementara ditahan dan dapat diambil kembali tiga hari lagi bersama uang denda yang ia pikir lebih tepat dinamakan uang tebusan. Sungguh hari yang begitu buruk bagi dirinya dan semua itu membuat Ray semakin sering melamunkan banyak hal di sisa perjalanan pulangnya. Ia seharusnya bisa pulang cepat hari ini, tapi tak terduga karena insiden tadi siang, membuatnya pulang sore hari. Maka petang ini Ray harus sembahyang maghrib di masjid pinggir jalan. Selepas sembahyang, gundah gulana membuatnya lama termangu, berpikir salah apa ia selama ini. Raihan mulai berpikir mungkin ia memang seharusnya dulu kuliah sastra, menjadi penyair dan menghabiskan waktunya dengan berkontemplasi dengan semua puisinya. Ia mulai bingung apa yang harus ia katakan pada putri tidurnya, istrinya Shania, tentang semua ini. Jika ia benar-benar dipecat mungkin ia akan berwirausaha bersama istrinya itu, Tapi bagaimana dia meyakinkan Shania? Karena Ray tahu ia takkan pernah bisa membohongi istrinya. Atau mungkin ia akan kembali menyongsong cita-citanya dulu, menjadi penyair, menulis puisi, berharap riuh rendah tepuk tangan penonton setiap kali ia membacakan puisinya, tapi apakah Shania dapat menerima hal itu? Semua kegundahan itu membuat Raihan sesekali menangis lirih diperjalanan pulangnya, ia bisa saja pulang dengan angkutan umum, tapi entahlah malam ini langit begitu tumpah ruah dengan sinar bintang serta rinai gerimis kecil seakan memaksanya untuk berjalan kaki menuju rumahnya. Malam itu Raihan merasa seperti tokoh dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang bertema hujan, lebih tepatnya ia seperti penyair yang pergi dengan bingung, pikirannya mulai meliar, mungkin malam itu ia seperti penyair yang tersesat.
***
Rumah itu terihat sepi dari luar, ia yakin anaknya sudah terlelap tidur tapi mungkin Shania masih terjaga. Benar saja ketika Ray mengetuk pintu, Shania segera membuka pintu itu dengan menampakkan raut wajah yang cemas, seakan berkata tanpa suara, “Kemana saja kau? Aku mencemaskanmu,” kata-kata yang bisa langsung Ray rasakan. Shania menyiapkan teh hangat untuk suaminya dan bertanya lembut.
“Apa yang terjadi Yah?” Ray pun menceritakan insiden tadi siang yang mengakibatkan ia pulang terlambat dan menyebabkan mobil serta semua dokumen mengemudinya disita polisi namun ia tidak memiliki keberanian untuk menceritakan apa yang sebelumnya terjadi di kantornya, tepatnya pada saat rapat direksi. Lalu ruangan tengah itu untuk beberapa saat hening, sebelum suara Shania yang merdu kembali memecah kesunyian.
“Apakah ada yang ingin ayah katakan lagi? Aku melihat ada yang berbeda pada raut mukamu. Apakah ayah sedang memikirkan sesuatu?” tangan halus Shania menyentuh wajah Ray, mata hitam bulatnya mendekat mempesona. Ini mengingatkan Ray mengapa ia menyebut istrinya itu oase di kering kerontang kehidupannya
“Sebenarnya Mah, aku ingin mengatakan...” Ray berpikir apakah ini saatnya untuk mengatakan semua yang ia pikirkan tadi pada oasenya? Tentang kegundahannya, tentang puisinya, tentang riuh rendah tepuk tangan penonton yang selau ia dambakan?
“Hmm, aku hanya ingin berkata, aku begitu menyayangimu Shania,” tiba-tiba hati Ray kembali menciut untuk mengatakan yang sebenarnya, walau ia tahu Shania langsung dapat mendeteksi kebohongannya itu. Ia kira sekarang bukan saat yang tepat membuat putri tidurnya begadang semalaman mendengar celotehan dirinya. Ray melihat mata bulat Shania menatapnya hangat, laksana sepoi angin di kala kemarau panjang. Shania selalu menjadi oase bagi Ray yang kehausan dan keletihan. Tapi entah kenapa ia menjadi merasa begitu ironi, merasa semuanya begitu metaforik. Memang sang penyair yang tersesat telah menemukan oasenya, namun entahlah sang penyair kini merasa ada hal yang janggal. Mungkin sang penyair tersesat itu merasa telah ditelan oleh oasenya sendiri. ***

Comments

Popular Posts