She’s The One Syndrome
source pict.: huffingtonpost.com |
Pembaca yang budiman,
Umur memang tidak selamanya dapat menggambarkan tata perilaku seseorang. Maka harusnya tidak perlu ada lagi sikap underestimate jika anak muda ingin menyampaikan gagasannya di depan golongan tua, dan sebaliknya tidak perlu pembenaran yang berlebihan jika memang remaja melakukan kesalahan yang merugikan khalayak ramai. Namun memang sudah seharusnya bahwa bertambahnya pengalaman dan usia, bertambah pula kedalaman pemahaman seseorang tentang hidupnya.
Ketika aku membaca beberapa tulisan yang membahas bagaimana cinta pada pandangan pertama itu bisa terjadi, aku menemukan sebuah syndrome yang entah benar ada atau tidak, namanya She’s The One Syndrome. Aku berusaha serius menelaahnya dan menarik kesimpulan bahwa She’s The One Syndrome ialah keadaan dimana laki-laki merasa perempuan yang disukainya adalah perempuan satu-satunya di hidupnya dan ini berlaku bagi perempuan juga (He’s The One Syndrome).
Pada kasus yang dinamakan cinta pada pandangan pertama biasanya laki-laki melihat perempuan yang begitu ideal baginya dan baru ia lihat untuk pertama kali lalu dengan serta merta berkata, ”Eureka, itu jodohku!”. Dan katanya hampir sebagian laki-laki mengalaminya, jumlah kejadiannya lebih besar dari yang terjadi pada perempuan. Jujur saja aku pun pernah mengalaminya.
Aku jadi agak menisbikan cinta pada pandangan pertama ini, walau tidak menutup kemungkinan hal itu benar-benar bisa terjadi dan berhasil meng-evergreen. Biasanya orang yang tengah mengalaminya mulai mencari persamaan dirinya dengan orang yang dia suka, segala apapun gerak-gerik orang yang disuka seakan bau rumput di musim semi yang ditiup angin lalu berpendar di langit. Kadang jati diri orang yang tengah mengalaminya seakan hilang, idealisnya ia lupakan, dan kejujuran ia korbankan, seperti saat orang yang disuka melakukan kesalahan tetap saja akan ia benarkan walau hati kecilnya menyangsikan, seringnya menjadi sebuah justifikasi yang sebenarnya menggelikan.
Mungkin hal itulah yang dimaksud Rainer Maria Rilke dalam suratnya pada seorang penyair muda: Franz Kappus.
“Mencintai bukanlah pertama-tama berarti membaur, menyerah, dan menyatu dengan manusia lain (lantaran bagaimana bisa bersatu dua orang yang masih tak jernih, tak selesai dan koheren-?), adalah dorongan yang tinggi buat seorang individu untuk menjadi ranum, untuk menjadi sesuatu dalam dirinya sendiri, untuk menjadi dunia dalam diri mereka sendiri buat kebaikan orang lain; adalah sesuatu yang besar dan menuntut padanya, sesuatu yang memilih dan memanggilnya pada kejauhan maha luas.”1
Rilke tidak terelakkan ialah wakil bagi kita jika ingin menyebutkan penyair-penyair bohemian, kita mengetahui elegi-elegi yang ditulisnya dan merasakan kepiluan hidupnya, oleh karena itu saya pun cukup terkejut ketika membaca gagasannya tentang cinta ini. Mungkin inilah yang membedakan ia dengan Chairil misalnya. Rilke pun melanjutkan.
“Membaur dan menyerah dan setiap setiap jenis hubungan bukanlah untuk mereka (yang masih saja, untuk waktu yang lama, sangat lama, menyimpan dan menghimpun mereka sendiri); mencintai adalah hal yang luhur, yang barangkali untuknya umat manusia belum cukup besar.”
Teman kelas wanita saya waktu SMP pernah bertanya, “Kenapa cowok selalu ngeliat cewek dari fisiknya?”. Jujur waktu itu saya tidak bisa menjawab, pertama karena memang secara biologis perempuan mengalami kedewasaan lebih awal dari laki-laki, itu yang menyebabkan pertanyaan ini terlontar dan menjadi alasan mengapa pada awal kedewasaannya perempuan lebih suka mengidolakan laki-laki yang lebih tua darinya, karena asumsi bahwa laki-laki yang seumur dengannya pada waktu itu tidak setara dalam hal kematangan berpikir.
Kedua karena memang aku sudah tak asing dengan pertanyaan-pertanyan menjebak semacam itu, jika aku menjawab pada waktu itu maka akan ada rentetan pertanyaan lain yang pasti sudah dia siapkan. Namun seiring pengalaman hidupku akhirnya aku dapat menuliskan semua kata yang termuat ini. Dalam surat yang sama, Rilke sebelumnya menulis.
“Sungguh baik juga untuk mencintai, lantaran cinta itu sulit. Lantaran seorang umat manusia ialah untuk mencintai umat manusia yang lainnya: bahkan agaknya tugas paling sukar yang dipercayakan pada kita, tugas paling luhur, ujian dan bukti terakhir, pekerjaan yang untuknya semua pekerjaan hanyalah persiapan. Itulah kenapa anak muda, yang merupakan pemula dalam segala sesuatunya, belum mampu mencintai, cinta adalah sesuatu yang harus mereka pelajari. Dengan keseluruhan diri mereka, dengan segala kekuatan mereka, yang dihimpun di sekeliling hatinya yang soliter, cemas, dan berdetak kencang, mereka harus belajar mencintai. Tetapi waktu belajar selalu panjang, waktu yang tercerai di muka dan dekat dengan kehidupan, adalah-; kesunyian, semacam kesendirian yang meninggi dan mendalam bagi seorang yang mencintai.”
Rilke memberikan penyadaran kepada kita tentang hakikat cinta yang luar biasa dalamnya. Maka tak aneh jika Soe Hok Gie pernah menulis dalam catatan hariannya bahwa cinta di dunia yang palsu ini tak pernah ada, yang sebenarnya secara ekplisit menunjukkan begitu luhurnya cinta dalam pendangannya.2 Gie menulis bahwa ihwal cinta yang disesumbarkan manusia hanyalah masalah kesenangan nafsu belaka yang memang tak bisa kita pungkiri. Walau Gie sendiri secara dramatis mengakui pernah jatuh simpatik pada seseorang. Hingga pada akhir hayatnya ia telah merasa begitu tak berdaya melawan benturan perbedaan ras demi mempertahankan cintanya ini.
Lalu bisakah keluhuran cinta itu bertahan di tengah kefanaan dunia? Mari kita perhatikan apa yang coba Buya Hamka sadarkan.
“Betapapun besarnya cinta seseorang terhadap seorang perempuan cantik, jika dipikir-pikir akhir akibat perempuan tersebut berkuranglah cintanya. Sebab rahasia dunia ini ganjil sekali. Tiap-tiap kemuliaan mengandung racun, dan tiap-tiap kesengsaraan mengandung suatu faedah. Manusia hidup di dunia diancam akan tiga perkara: panah kejatuhan, panah penyakit, dan panah kematian.”3
Kutipan ini saya dapat dari buku yang ditinggalkan di kolong meja yang entah punya siapa sewaktu SMP juga. Mungkin di kesempatan yang lain saya akan ceritakan begitu arifnya seorang pribadi Buya Hamka dan beberapa karya monumentalnya. Harusnya kutipan di atas telah menjelaskan semuanya. Bila kita tahu cerita-cerita tragis seperti Romeo & Juliet ataupun kisah Putri Duyung yang asli, selalu ada sebersit perasaan akan begitu happily ever after jika mereka bisa bersatu dalam pernikahan.
Tapi kita juga bisa pastikan bahwa hari-hari pernikahan tidaklah bisa semulus di negeri dongeng atau novel. Apabila kita definiskan cinta sebagai rasa saling suka yang begitu romantik niscaya itu tidaklah bertahan lama, begitu pula dengan fase dalam pernikahan yang hanya akan bertahan beberapa tahun. Kita bisa maknai bagaimana Royal Wedding antara Pangeran Charles dan Putri Diana. Sangat diimpikan semua orang, tapi kita tahu bersama bagaimana akhir kisah mereka yang simpang siur dan sangat memilukan.
Memang sangat banyak faktor, tapi ada pernyataan Pangeran Charles tentang kisah sedih ini. Secara garis besar Pangeran Charles mengatakan dalam pernikahan bukanlah cinta yang membuatnya tetap bertahan, tapi saling pengertian, saling memahami, mulai memaklumi kekurangan yang ternyata baru kita ketahui, dan semua hal itu bisa kita intensifikasi menjadi sebuah kata: sayang.
Cinta bersifat menggebu sedangkan sayang bersifat menenangkan. Cinta seperti tunas namun sayanglah yang mampu membuatnya menjulang. Cinta adalah pohon kelapa yang kadang egois menatap langit namun begitu mudah merunduk tertiup angin, sayang ialah pohon bidara yang sabar dan kokoh untuk tumbuh rindang untuk menjadi peneduh para musafir.
sumber gambar: dokumen pribadi |
Dari perkataan Buya Hamka kita bisa pahami, bagaimana sosok ideal yang membuat kita begitu inferior saat mengalami She’s/He’s The One Syndrome dapat sedikit demi sedikit berkurang kesempurnaannya di hadapan definisi cinta kita yang remeh. Karena ternyata begitu banyak kekurangan yang terdapat pada orang yang kita suka itu. Jika tidak ada ikatan komitmen yang kuat yaitu pernikahan maka siklus She’s The One Syndrome ini akan terus berulang laiknya lingkaran setan.
Dalam pernikahan pun jika definisi cinta kita yang remeh ini tidak segera beradaptasi maka kiranya happily ever after hanya akan terjadi pada akhir cerita pengantar tidur. Takdir memang tidak akan bisa diduga, tapi mungkin sudah saatnya para remaja kita mengetahui hal ini, walaupun paradigma masyarakat pop berkata pada awalnya mereka harus melewati masa-masa romantis teenlit di awal kedewasaannya. Namun jika pembaca yang budiman masih belum mau jujur pada diri sendiri, jangan harap angka obral perceraian dan aborsi yang menodai keluhuran cinta akan berkurang.
Catatan
1. Rainer Maria Rilke, Surat-surat Kepada Penyair Muda. Yogyakarta: MK Art Books, 2012, hlm. 51.
2. Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES, 1983, hlm. 88 & 94.
3. NS Utami, Arti Sahabat & Makna Cinta. Yogyakarta: Immortal Publisher, 2010, hlm. 150.
:))
ReplyDelete:'))
ReplyDeleteNicee ^^b
ReplyDeleteBacaannya keren2
Terima kasih, ah tidak sehebat itu hehe
DeleteSuper Sekali :))
ReplyDeleteThank's a lot :'))
DeleteNice kang!
ReplyDeletePengen komentar ey
Wah cinta pada pandangan pertama ya?aku biasa nyebutnya cinta monyet, disaat dunia serasa berpihak sepenuhnya, serasa bertemu takdir, ya dan hal hal lebay lainnya hahahaha
Btw aku agak sangsi juga soal setiap ending kisah cinta adalah pernikahan, padahal pernikahan itu sendiri menurutku malah awal dari segalanya. Nikah itu gak sesederhana aku kamu lalu happy ending, nikah itu menyatukan dua keluarga, membuat keluarga maaan! Mempertaruhkan nasib. Tanggung jawab penuh, bukan cuman liat fisik, tapi harus tahu gimana sifatnya, gimana kesehatannya, gimana masa lalu dan masa depannya, finansial, norma dan tetek bengeknya lainnya. Yah masih lama lah ya wkwkwkwk
Overall aku suka tulisannya. Semangat menulis!
Setuju pisan! Nuhun :)
Deletetulisan yang keren dan dapet banget ^^, awalnya awam dengan HOS ini, jadi penasaran dan cari tahu. ngakak dan miris juga bahwa pada zaman alay aku adalah korban dari HOS ini. wkwk..
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung :)
Deletedulu pernah ada yang ngomong kaya gitu. "she is the one syndrome". idk, tp dia ujungnya ninggalin.
ReplyDeleteWaduh sedih sekali
Delete