Catatan Perjalanan dalam Kota (Bag. 2)

Jembatan penyeberangan melewati Tol Baros

Dari buangan tol, saya melihat proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang sangat besar itu. Terihat asing dan sepi, mungkin sedang libur. Di seberang pun gedung the Edge berdiri dominan di antara rumah-rumah kecil di sekitarnya. Saya selalu ingin tahu, kenapa lahan di sekitarnya urung dibangun pula. Padahal sejak saya SD, dari gambar yang dipajang di depan proyek the Edge setidaknya ada dua lagi gedung yang harusnya berdiri di kanan-kiri gedung utama.

Meneruskan perjalanan, saya mengambil jalan masa kecil di belakang the Edge yang ternyata masih ada. Dulu saat bulan puasa tiba, saya dan kawan-kawan sering mencari pedagang petasan korek hingga ke sini. Di sisi pemakaman yang hampir penuh, ada aliran sungai. Sungai inilah area uji coba petasan korek sebelum malam saat shalat tarawih kami ledakan. Saya menatap sekitar, sudah banyak yang berubah. Jembatan bambu di atas sungai itu sekarang telah berbeton. Di sepanjang setapak pekuburan itu pun kini banyak sekali kontrakan sempit.

Jalan setapak di belakang the Edge itu akan berakhir di jembatan penyeberangan yang melintasi jalan tol. Saat di atas jembatan itu, tubuh akan dihantam angin yang berhembus kencang serta deru kendaraan di bawahnya yang tak henti meraung. Jika beruntung aroma manis dari pabrik kecap akan ikut tercium, sementara pucuk-pucuk kubah masjid akan terlihat seperti umbul-umbul di tengah lautan oranye genteng rumah. Lansekap yang akan membuat siapa pun berhenti sejenak dan menikmati detik-detk bergulir. Ada sesuatu dalam hati yang membuat saya ingin berteriak, "Vini! Vidi! Vici!"

Jalan kecil di ujung jembatan

Di ujung jembatan sebelum warung, dahulu ada pohon nangka berpokok ganda yang sering kawan-kawan masa kecil saya jadikan awalan untuk kisah-kisah hantu urban legend. Sebut saja misalnya Mr. Gepeng. Hantu ini sering digambarkan bermuka gepeng menyeramkan akibat terhantam bus. Atau pocong keliling.

Ada kisah absurd tentang pocong keliling. Konon dia akan mengetuk pintu rumah saat larut malam tiba. Lalu menawarkan uang dua milyar rupiah bagi siapa pun yang mau ikut dengannya, dengan taruhan nyawa yang tidak akan kembali. Nominal dua milyar adalah nominal yang sangat happening waktu itu, sebab ada kuis televisi yang katanya hadiah utamanya sebesar itu. Tapi maksud saya bagaimana mungkin pocong yang lengannya terikat itu membawa koper dengan uang cash sebanyak dua milyar. Bayangkan jika pecahan yang dibawanya adalah lima ribuan. Ataukah pocong sudah mengenal dompet digital saat itu. Entahlah, yang pasti cerita ini dulu yang membuat saya selalu memastikan pintu rumah terkunci kala malam tiba. Seraya mengutuk keinginan menukar nyawa dengan uang dua milyar.

Berusaha agak memutar, saya tak berhasil menemukan pohon nangka berpokok dua itu. Mungkin sudah ditebang, dan bonggolnya diratakan lalu dilapisi semen. Tak jauh dari warung di ujung jembatan adalah Masjid Al-Hidayah. Saya ingat sering pergi shalat Jum'at di sini, padahal di sekolah pun ada masjid yang lebih besar dan dingin. Alasan utamanya tentu pelaksanaannya lebih cepat, sehingga kemungkinan mendengkur saat khatib membacakan khutbah yang bahkan belum sempat ia baca sebelumnya itu menjadi lebih sedikit. Dari awal adzan hingga khutbah berakhir tak pernah melebihi 10 menit. Oleh karena itu, sisa waktu istirahat bisa saya gunakan untuk jajan cakue mini dan menikmati sausnya yang rasanya mirip saus asam manis Bangkok.

Minaret Masjid Al-Hidayah

Selepas Al-Hidayah maka sampailah saya di Komplek Pilar Mas. Tempat ini adalah arena latihan sepeda pertama bagi saya. Sepedanya saya pinjam milik sepupu yang memang dahulu tinggal di situ. Banyak pohon mangga di perumahan ini. Di ujung barat bentengnya ada pohon cincau merambat. Biasanya saya dan kawan-kawan masa kecil akan saling topang memetik daun cincau. Sebelum main, kami gerus kasar bersama air, lalu diamkan air perasan itu. Air itulah yang akan mengendap menjadi cincau. Sepulang bermain kami hanya tinggal patungan beli marimas. Tidak pernah ada minuman sesegar itu lagi.

Kini hanya tersisa sedikit daun cincau di pohon merambat itu, kiri-kanannya telah terpagari pohon bunga kamboja.

Sesampainya di rumah tujuan saya membuka buku pelajaran. Mendapati diri masih segar setelah berjalan kaki sejauh itu membuat saya lumayan lega. Dari tas gendong keluarlah pensil, penghapus, dan catatan lusuh. Beberapa menit kemudian saya menjadi paham, ternyata ada gunanya juga belajar sistem persamaan linear dua variabel.

Comments

Popular Posts