Catatan Perjalanan dalam Kota (Bag.1)

The Edge nampak angkuh dikelilingi rumah kecil

Orang-orang memiliki macam-macam kegiatan untuk melepaskan tekanan hidup. Ada yang harus berlibur sampai lelah, membaca bab tertentu pada buku kesukaannya, menonton langit malam sambil berbaring, bahkan saya punya kawan yang mendapatkan ketenangan batin melalui mencuci piring dan menyetrika baju. Saya sendiri merasa nyaman saat berjalan sendirian dalam jarak yang jauh. Oleh karenanya, ritual berjalan kaki sendiri ini tidak boleh terlewat setiap hari libur yang agak luang.

Sudah lumayan lama saya tidak berjalan kaki sejauh hari Kamis pekan kemarin. Saya merencanakan garis start dari salah satu masjid di daerah Kolonel Masturi -tempat saya sedang beruzlah sampai Komplek Pilar Mas di perbatasan selatan kota tempat saya mengajar sampingan. Namun kondisi cuaca pagi kala itu tidak mendukung.

Estimasi perjalanan ini akan memakan waktu dua jam, sedang awan gelap sudah terlihat sangat berat di langit. Membuat rasa ragu pun cepat menyergap. Pada akhirnya saya pacu sepeda motor sampai alun-alun kota. Dari sana mulailah saya melangkah. Sampai tempat saya mengajar itu, jaraknya kurang lebih hampir berkurang setengah dari rencana awal.

Hanya memakai terompah kulit imitasi membuat kaki saya lekas lecet, dan tiba-tiba matahari juga hangat meninggi. Melihat Masjid Agung di samping alun-alun, saya teringat suatu malam saat SMP, ketika itu purnama sangat terang di langit. Lalu saya teringat sebuah larik dalam Al-Iqd Al-Jawahir yang digubah Syaikh Ja'far Al-Barzanji.

ﺃﺷﺮﻕ ﺍﻟﺒﺪﺭ ﻋﻠﻴﻨﺎ ، ﻓﺎﺧﺘﻔﺖ ﻣﻨﻪ ﺍﻟﺒﺪﻭﺭ

Purnama paling sempurna telah datang menyinari kami, sehingga pudarlah pesona purnama-purnama lainnya. Bagaimana betapa rangginya Nabi Saw. hingga jika disandingkan dengan bulan purnama pun, kita akan melupakan pesona purnama itu.

Lansekap kota dari atap Masjid Ibrahim Jambudipa

Dari alun-alun saya bersiul menuju bahu jalan lalu naik melewati jembatan penyeberangan. Terlihat satu dua pengemis renta menyambut, pemandangan yang tak pernah berubah sejak saya kecil. Sedangkan di bawah jembatan manusia berjejal bergegas dengan kesibukan masing-masing. Di ujung jembatan, ada toko ponsel dan toko alat tulis, kemudian beberapa mobil terparkir.

Pakaian necis orang-orang yang lalu lalang sangat kontras dengan pengemis renta yang dilaluinya. Berkelebatan di kepala saya, pengemis-pengemis yang ternyata kaya raya di sebuah acara investigasi televisi. Saya terus berjalan dengan kaki yang agak linu, sebab alas jembatan yang ternyata sudah keropos di beberapa sisi.

Kemudian saya masuk ke jalan Gatsu. Jantung saya terasa berdegup saat melewati salah satu SMA di jalan itu. Sialan, dengan agak cemas saya kayuh kaki lebih cepat. Dengan buru-buru saya berbelok menuju Kodim 0602, hingga sampai ke Jalan Kalidam. Tak sadar keringat dingin berembun di dahi. Susul menyusul ingatan tentang buku-buku Kahlil Gibran, kue coklat yang besar, dan suasana penyesalan.

Untung saja rumah-rumah a la kolonial cepat mengalihkan perhatian saya. Jendela-jendela tinggi, atap sirap dan pilar putih, dan tentu pernak-pernik militer memenuhi sisi jalan Pasir Kumeli. Jika keluar menuju jalan raya akan kita dapati pusat-pusat pendidikan militer sehingga kota ini dijuluki Kota Hijau - yang jumawa. Saya memilih masuk ke dalam, melewati kolam renang Tirta Yudha dan nantinya bertemu perlintasan kecil kereta api di tengah Baros.

Perlintasan kereta api paling besar di Baros, sisanya lebih kecil

Dahulu daerah perlintasan kereta ini antah berantah. Jangankan kios thai tea, warung garpit pun segan ada di sini. Kebanyakan yang tumbuh hanya varietas pohon pisang, dari pisang raja hingga pisang kipas. Sebab siapa yang tak takut, melihat rumah-rumah Belanda yang halamannya berumput tinggi karena sudah lama tak dihuni. Saat Jepang menduduki Cimahi, orang-orang Belanda diusir. Kebanyakan lebih memilih meninggalkan rumahnya, alih-alih bersikeras dan dibakar hidup-hidup dalam rumah. Saat itu saya mulai sadar kota ini sudah banyak berubah.

Saat berjalan keluar kita akan bertemu daerah buangan tol Baros, mungkin satu-satunya jalan yang tak dilalui angkutan kota. Kalau dipikir-pikir, angkot ini memang ajaib. Dia seperti halnya anggota legislatif yang cenderung kebal hukum. Bisa berhenti di mana saja, ngetem selama apapun tanpa rasa bersalah, bahkan menurunkan penumpang sebelum sampai tujuan jika sang supir punya keperluan mendadak.

Ada kisah seorang kawan yang naik angkot lalu berpesan pada sang supir untuk diturunkan di tempat tujuannya. Ternyata betul saja ia ketiduran karena kelelahan, maklum sibuk. Sayangnya sang supir lupa, dan ia pun terbangun saat sudah sampai di tujuan trayek. Bukannya mengambil tanggung jawab untuk sekedar memutar jalan, sang supir justru menurunkannya dan memberi nasihat yang amat mulia untuk naik angkot dengan arah sebaliknya. Lebih perih dia tetap ditagih ongkos dengan harga seakan tujuannya adalah memang akhir trayek. Terberkatilah seluruh angkot dan supirnya yang fasis.

[Bersambung ke Catatan Perjalanan dalam Kota (Bag.2)]

Comments

Post a Comment

Popular Posts