Kobe Bryant dan Fiqh Basketball

Source: bleacherreport.com
"I don't want to be the next Michael Jordan,
I only want to be Kobe Bryant."

Cuplikan NBA Final 2010 antara Los Angeles Lakers dan Boston Celtics di acara olahraga pagi televisi merupakan kali pertama saya melihat Kobe Bryant. Saat itu saya heran kenapa bisa orang ini terlihat begitu mudah memasukkan bola ke dalam keranjang dari segala sisi lapangan. Di awal dekade itu saya lebih akrab dengan tinju. Sebab tinju merupakan tontonan wajib ayah setiap Minggu pagi, dan karena saya tidak punya banyak pilihan untuk mengakses informasi.

Tapi setelah saya menjadi pengunjung tetap perpustakaan sekolah - yang sepi itu untuk membaca koran, lalu menjadi hoarder majalah-majalah remaja gratis (P!) yang dibagikan ke sekolah, maka jadilah saya penggemar Kobe dan Lakers. Kendati akhirnya secara personal saya lebih condong pada thariqah sufi yang dibawa Derrick Rose di Chicago Bulls.

Sangat mudah menyukai Kobe, karena bagi saya dan barangkali seluruh anak-anak yang lahir di akhir abad lalu Kobe ialah cerminan bagaimana atraktifnya NBA di tahun 80an. Generasi saya tidak berkesempatan melihat rivalitas Magic Johnson dan Larry Bird, atau sky hook ajaib K. Abdul-Jabbar, atau seorang 'dewa' yang menyamar menjadi Michael Jordan di saat prime-nya. Buktinya bagi rookie players yang seumur dengan saya di beberapa tahun ke belakang, Kobe menjadi salah satu alasan kenapa mereka bermain basketball. Mereka ingin seperti Kobe Bryant. Maka saat Kobe memutuskan pensiun saat saya masuk kuliah, kiranya NBA tidak pernah terasa sama lagi. Sebenarnya apa yang membuat ia istimewa, adalah pertanyaan yang membuat saya pun merenung.

Saya setuju dengan salah satu kawan yang menyebut Kobe Bryant adalah ultra-profesional, dia adalah tipikal orang yang terakhir keluar saat latihan. Bagi Kobe basketball bukan hanya sekadar olahraga atau permainan, tapi mungkin keseluruhan hidupnya. Ia menonton video-video Michael Jordan, Earvin Johnson, Julius Erving, dan NBA Hall of Famers lainnya lalu mempelajarinya. Ia menjadi analis bagi permainan mereka dan pada kesempatan tertentu menirunya dengan sempurna - seperti yang ia lakukan pada fall-away jump shot milik Michael Jordan. Ini mengapa ia menjadi semacam ahli, bukan hanya sekedar pemain.

Berperan sebagai shooting guard Kobe memiliki skill set yang lengkap serta tahu kapan harus menggunakannya, meleburnya ia dalam permainan pun membuatnya menguasai sisi lain permainan: psikis dan mental. Kobe merupakan self motivator sekaligus trash talker terbesar ketika di lapangan. Ia terhadap basketball sebagaimana seorang faqih yang tidak hanya melihat ibadah sebagai rangkaian gerakan fisik; tapi kesatu paduan jasadiyah-ruhaniyah-fikriyah.

Sebab bukanlah ahli fiqh jika ia hanya menghafal dalil gerakan litterlijk dan melupakan bagian pemaknaan, karena justru penghayatanlah yang membuat ibadah menjadi ibadah. Sehingga pemahaman inilah yang membuat kita mampu menjawab pertanyaan semisal apa yang membedakan shalat dengan senam filates, atau naik haji dengan jalan-jalan ke Mekkah. Secara sederhana kita bisa sepakati seorang faqih ialah dia yang memiliki pemahaman yang mendalam.

من كان شديد الفهم

Oleh karenanya, tak berlebihan jika kita sebut Kobe Bryant adalah salah satu faqih basketball di antara para fuqaha lainnya yang berhasil bermain basket di level yang paling tinggi. Seperti diungkapkan NBA Commissioner Adam Silver, Kobe merupakan, "One of the greatest players in the history of our game," atau secara lebih luas seperti yang ditulis The New York Times, "One of the most decorated careers in the history of the sport."

Bagaimana tidak, selama dua puluh tahun kariernya bersama Lakers Kobe hampir memenangkan segalanya. Tentu yang paling saya ingat pada Desember 2014, saat ia melewati Michael Jordan untuk menjadi tiga besar All-Time Leading Scorer di bawah Kareem Abdul-Jabbar dan Karl Malone. Kendati kemudian catatan itu dilewati LeBron James kala 76ers menjamu Lakers hari Sabtu lalu waktu setempat (25/1) di tempat kelahiran Kobe: Philadelphia. Semua penggemar Lakers merayakan kehangatan kedua bintang yang sedang berbagi dukungan itu, dan nampaknya LeBron secara sah siap mewarisi legacy yang ditinggalkan Kobe di Lakers.

Tapi kurang dari 24 jam semuanya berubah. Kecelakaan helikopter nahas itu tersebar beritanya Senin pagi waktu Indonesia. Tidak ada yang selamat. Termasuk Gianna. Salah satu calon legenda WNBA, umurnya baru 13 tahun. Ah, saya pun menjadi agak sentimentil. Entah karena cuaca yang sedang melankolis atau memang keadaan quarter life crisis ikut mempengaruhi saat itu. Tapi berita duka ini begitu membekas bagi saya, berbeda misalnya saat kabar kematian tokoh-tokoh lain yang juga saya kagumi seperti WS Rendra tahun 2009. Mungkin karena Kobe Bryant memiliki ruang memori tersendiri bagi saya dan generasi ini.

Salah satu hal klise bahwa kita akan merasa kehilangan seseorang yang telah tiada, tapi seperti itulah adanya. Lalu kita bicara akan lahir dan tumbuh Kobe baru, walau bagi saya rasanya agak mustahil. Seperti yang dikatakan Magic Johnson pada saat Larry Bird pensiun tahun 1993. Penyangkalan atas kebohongan yang getir. Earvin berkata pada lawan abadinya itu, “Larry, you only told me one lie. You said there will be another Larry Bird. Larry, there will never, ever be another Larry Bird.”

Begitulah kenyataannya, tidak akan pernah ada lagi Kobe Bryant. Dan seperti keinginannya, Kobe telah melakukan hal yang menjadikannya "Kobe Bryant", bukan Jordan, ataupun yang lain. Terima kasih Kobe telah memberitahu kami, generasi 2000an apa itu fiqh basketball. Terutama tentu saja terima kasih telah menjadi Kobe Bryant yang kami kenal, sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Kami akan kenang kau sebagai seseorang yang menulis dan bercerita untuk basketball: permainan sekaligus hidup yang kau cintai.

My heart can take the pounding
My mind can handle the grind
But my body knows it’s time to say goodbye.

And that’s OK.

Dear Basketball, Mamba Out.

Comments

Post a Comment

Popular Posts