Membersamai Angin
Angin hari ini begitu semangat
mendedahkan debu, menjatuhkan daun kering, bakal buah, dan banyak kelopak
murung. Entah kenapa lara matamu terasa begitu dekat menghangatkan darah yang
mengigil karena musim ini. Kurasa tiada salahnya merindu, taburan mahkota yang
kubayangkan ialah tulip mekar, juga jika boleh ‘kan kukalungkan serantai melati
putih.
Yakinkah kamu melaju bersama seseorang
sepertiku. Manis, bila kau adalah edelweiss, mungkin takkan pernah kupetik
cantikmu.
Walau Lembah Mandalawangi pun tahu, itu tidak mempengaruhi kehadiranmu. Aku adalah bintang kembar rasi gemini, jutaan debu kosmis telah penuh di mukaku. Tapi kau andromeda, megah dan disukai bahkan oleh sinar lunar temaram. Kau punya konstelasi, sedang aku hanya menunggu supernova. Manis, biarkanlah aku mendekat beberapa tahun cahaya. Lebih intens mencium harum cakram di lengan rotasi yang membuatmu menari.
Walau Lembah Mandalawangi pun tahu, itu tidak mempengaruhi kehadiranmu. Aku adalah bintang kembar rasi gemini, jutaan debu kosmis telah penuh di mukaku. Tapi kau andromeda, megah dan disukai bahkan oleh sinar lunar temaram. Kau punya konstelasi, sedang aku hanya menunggu supernova. Manis, biarkanlah aku mendekat beberapa tahun cahaya. Lebih intens mencium harum cakram di lengan rotasi yang membuatmu menari.
Ombak yang bergulung, terpaan rona
senja. Ah, itu kerling matamu, bersimbah deras merelungi jiwa. Betapapun aku berlari
tetap terbias membayang rengkuh tubuhmu. Kencangkan larimu angin, sampaikan
peluk yang memburu ini.
27 Juni 2016
Ketika kukayuh kereta anginku hari
ini, angin dengan garang menerpa wajahku. Ada rasa nikmat yang tak bisa
dijelaskan, begitu lugas untuk dirasai tapi begitu sulit digambarkan. Aku mulai
berpikir bagaimana jika aku menjadi angin, menyentuh puncak-puncak cemara
sehingga bergoyang, menyentuh pipi merah muda itu yang tersipu malu.
Jika aku menjadi angin mungkin aku takkan kembali, aku hidup untuk menerbangkan induk-induk burung demi mencari makanan, menerbangkan layang-layang yang dengan girang dimainkan oleh anak-anak kolong jembatan sembari menunggu ibunya menyuruh mandi. Ada rasa sepi yang begitu kuat menjadi angin, kau tidak pernah tahu dimana asalmu dan entah sampai kapan kau tak bertentu tuju. Angin tak pernah lelah membawa setiap rintik rindu hujan pada tanah, menyemaikan dandelion hingga jatuh bertumbuh, menemani bunga-bunga mangga hingga berbuah. Ah, angin memang berupa bisik, bertubuh ragu namun bertekad kuat. Hingga takdir menjadikannya auman yang mengerikan, tunduk patuh sebagai peringatan dari Penguasa Alam. Dibawanya segala pilu, rintih, dan jeritan menemui sudut-sudut hidup yang tak pernah lelah berbuat lalim. Manusia mulai bertanya, masihkah kurir rindu itu dapat meniup rambut-rambut ikal dibawah lembayung senja?
Jika aku menjadi angin mungkin aku takkan kembali, aku hidup untuk menerbangkan induk-induk burung demi mencari makanan, menerbangkan layang-layang yang dengan girang dimainkan oleh anak-anak kolong jembatan sembari menunggu ibunya menyuruh mandi. Ada rasa sepi yang begitu kuat menjadi angin, kau tidak pernah tahu dimana asalmu dan entah sampai kapan kau tak bertentu tuju. Angin tak pernah lelah membawa setiap rintik rindu hujan pada tanah, menyemaikan dandelion hingga jatuh bertumbuh, menemani bunga-bunga mangga hingga berbuah. Ah, angin memang berupa bisik, bertubuh ragu namun bertekad kuat. Hingga takdir menjadikannya auman yang mengerikan, tunduk patuh sebagai peringatan dari Penguasa Alam. Dibawanya segala pilu, rintih, dan jeritan menemui sudut-sudut hidup yang tak pernah lelah berbuat lalim. Manusia mulai bertanya, masihkah kurir rindu itu dapat meniup rambut-rambut ikal dibawah lembayung senja?
Ada getas-getas yang aneh dalam hati
ketika kita memperhatikan sekitar, membayangkan begitu masif semua penciptaan
ini. Aku dan kereta anginku hanya bisa melaju perlahan, berusaha menikmati
kontemplasi-kontemplasi pada sore hari ini. Beberapa dari kita mungkin mulai
tercerahkan karena pada dasarnya semua yang terhampar di dunia ini begitu
relijius, maka beruntunglah orang yang dengan peka menulis semua keajaiban itu.
***
Kayuhan demi kayuhan semakin terasa
berat membuat serotoninku berkurang sepertinya. Secara intuitif kutepikan
kereta anginku, yang tertangkap basah telah berbusa mulutnya, suatu saat
mungkin aku akan memertimbangkan kuda besi tapi dengan varietas yang lebih
ramah lingkungan. Tapi aku bersyukur, dengannya aku bisa melihat untuk pertama
kali ahli tambal ban beraksi. Allah memang telah menciptakan manusia dengan
begitu banyak potensi, hanya saja mereka kurang banyak belajar dari angin.
Dahsyat nya angin membelai kerudung merah jambu.. lovely yours windy
ReplyDelete