Penyair Tersesat dan Oasenya
sumber: store.oase-usa.com
Jalanan
Bandung pada malam ini terlihat begitu puitik, secara alami membuat bulu
kuduknya berdiri. Membangkitkan nalar sastrawi dirinya yang selama ini ia kubur
dalam-dalam. Tiba-tiba Raihan begitu merinding, teringat perasaan yang hampir
sama dituliskan Soe Hok Gie dalam catatan harian menjelang kematiannya. Hanya
perbedaannya sekarang mereka merasakannya pada dua kota yang berbeda dan secara
geografis berjauhan. Gie menggambarkan suasana melankolik itu dengan
lampu-lampu jalan yang bersinar dengan warna-warna baru, seolah semacam
penerjemahan dari kombinasi wajah kemanusiaan. Namun Raihan menjadi malas
merasakan itu semua, teringat bahwa buku catatan Gie itu ia dapatkan saat masih
remaja, saat-saat ia masih merasakan sikap kepenyairan yang jelas dari dirinya.
Kali ini ia lebih memilih menangis lirih, tidak berteriak tidak juga meraung.
Sambil berjalan kaki seakan ia hanya ingin tangisnya hanya terdengar oleh desau
angin yang menatap gemintang berlatar tampiasnya rintik hujan malam ini.
Dulu
ketika masih remaja ia selalu terkesima mendengar berita tentang keberanian
deklamasi-deklamasi puisi Rendra, sangat subversif dan berbahaya. Namun di sisi
lain negeri ini dia pikir memang butuh sesuatu yang subversif untuk memahami
sesuatu yang konstruktif waktu itu. Setiap hari minggu tak pernah Raihan
lewatkan mengunjungi jejeran toko buku bekas di daerah Palasari. Berburu
buku-buku sastra yang belum sempat ia baca menjadi kesukaannya, kadang ketika uang
jajannya habis atau tabungan yang ia kumpulkan selama seminggu terpakai untuk
keperluan lain, ia bisa seharian membaca buku yang ia incar disana sebelum
minggu depan atau suatu saat buku itu ia beli juga. Ada kekaguman ketika ia
membaca biografi Bung Hatta, seorang kutu buku yang luar biasa. “Jika nantinya
aku dipenjara, aku akan tetap merdeka bila ditemani dengan buku laiknya Bung
Hatta,” pikirnya dengan bangga waktu itu. Selain itu Raihan menganggap Bung
Hatta sebagai panutan cerdas, seorang alim yang tidak memisahkan agama dan
pengetahuan, ia juga menganggap Bung Hatta sebagai politikus yang tetap humanis,
pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden setelah melihat praktik kotor
revolusi adalah contohnya. Kadang ia tersenyum kecil mengingat masa-masa itu.
“Hah, masa-masa yang indah,” gumamnya dalam hati. Tapi hari ini sesuatu yang
besar telah terjadi dalam hidupnya, atau hanya perasaan hiperboliknya saja. Ia
mulai menangis lagi, kakinya pun terus melangkah.
Keluarganya
tak pernah menyukai sastra terutama ayahnya, mungkin karena keluarganya yang
terhormat membuat pandangan realistis begitu melekat dan hampir menjadi
paradigma. Hal inilah yang menyebabkan Raihan harus mengubur dalam-dalam nalar
sastrawinya. Setelah lulus SMA ia berencana disekolahkan oleh ayahnya ke sekolah tinggi kedinasan milik pemerintah. Walau ia sempat berusaha membuat
ayahnya mengerti.
“Yah,
aku sebenarnya ingin kuliah sastra,” katanya setelah mengumpulkan keberanian.
“Raihan,
dunia ini bukan dongeng seperti dalam cerita-ceritamu,” tukas ayahnya.
“Aku
mengerti Yah, tapi aku berpikir aku akan lebih baik jika aku melanjutkan
pendidikanku sesuai dengan apa yang aku mau,” jawab Raihan.
“Ray,
dalam hidup ini kita tak selalu bisa melakukan apa yang kita inginkan,” setelah
kata itu keluar dari mulut ayahnya, Raihan tahu pasti dia akan kalah lagi.
Raihan
menyadari ini sebuah kepercumaan, ayahnya takkan mengizinkannya kuliah di
jurusan yang kurang bonafid, setidaknya bonafid di persepsi ayahnya. Raihan
akhirnya sekali lagi mengalah pada ayahnya. Mengemasi barang dan bersiap
tinggal di asrama.
Kecerdasannya
membuat Raihan menjalani kuliah tanpa kesulitan dan lulus dengan memuaskan.
Setelah menjalani masa kedinasan selama beberapa tahun ia pun direkrut oleh
sebuah perusahaan tambang milik asing di Indonesia, maka ia pun pindah ke Ibu Kota
Jakarta, tempat segala keduniawian berkumpul di sana. Bak bola salju karirnya
meluncur cepat menggeser senior dan para pesaingnya. Hingga akhirnya dua tahun
ini ia telah menjadi salah satu pucuk pimpinan di perusahaan itu dan memegang
hampir setengah saham. Kesuksesan yang tak pernah ia berani khayalkan bahkan
dalam mimpi sekalipun dan yang istimewanya semuanya ia raih dalam usia yang
baru menginjak kepala tiga. Suatu saat ketika ia masih remaja ia sempat
berpikir untuk hidup secara liar, nakal, bohemian
seperti Rilke ataupun Chairil Anwar, tapi entahlah ia mungkin memang
ditakdirkan menjadi nice guy, menjadi
orang baik. Takdir itu pula mungkin yang menjawab mengapa ia bisa memperistri
wanita seindah Shania. Wanita yang seakan melengkapi semua kesuksesan yang
telah ia raih. Ketika kuliah dulu Shania selalu berkerudung dengan warna pastel cerah, hal yang selalu Ray suka karena hal itu menambah keanggunan Shania.
Raihan bertemu dengannya pertama kali suatu saat di perpustakaan kampus. Ada
ihwal yang membuat Ray percaya cinta pada pandangan pertama, yaitu pertemuan
ajaibnya dengan Shania. Waktu itu Shania sedang mencari salah satu buku di
sana, awalnya Ray acuh hingga ia menatap mata Shania untuk beberapa detik. “Eureka!” teriaknya dalam hati seperti seorang
ilmuwan Yunani. Mata Shania bulat hitam, berbinar laksana lembayung di waktu
senja. Geloranya hampir saja membuat Ray tak percaya, seperti semburan
kehidupan yang selalu ia cari selama ini. Akhirnya Ray membantu Shania untuk
mencari buku yang ia butuhkan, karena sebenarnya Ray mengetahui isi
perpustakaan ini lebih dari siapa pun, maklum saja jiwa kutu bukunya tak bisa
ia padamkan sepenuhnya.
“Kau
pernah mendengar dongeng Putri Tidur?” tanyanya agak kaku ketika sampai di
salah satu rak buku yang mereka cari.
“Tentu
saja aku pernah,” jawab Shania, begiitu lembut.
“Kukira
Putri Tidur telah menemukan pangerannya.”
“Oh
ya, benarkah? Maksudmu?” mata bulat Shania terbuka lebar.
“Mudah
saja aku melihatnya hari ini terbangun dan sedang mencari buku.”
Shania
tertawa geli setelah mendengar kalimat terakhir Ray. Itu membuat Ray menahan
napas, “Kupikir aku berhasil,” gumamnya dalam hati.
“Ngomong-ngomong
aku Raihan, panggil saja Ray,” jantungnya berdebar.
“Aku
Shania, aku pikir aku lebih suka memanggilmu pemandu.”
“Kenapa?”
tanya Ray.
“Mudah
saja, karena kau telah memanduku mencari buku dan karena pujianmu tadi, aku
sangat berterima kasih,” Shania tersenyum tipis.
Muka
Ray memerah, “Kalau pikirmu begitu, aku tak bisa memaksa,” dia pikir ini
permulaan yang bagus.
Setelah
itu mereka berpisah dan Ray semakin sering berdiam di perpustakaan untuk bertemu Shania. Dan Raihan mulai berpikir, perpustakaanlah sebenarnya tempat
paling romantis. Tetapi semuanya begitu cepat berubah, beberapa minggu
kemudian, Ray sempat pesisimis mendengar kedekatan Shania dengan orang-orang
populer di kampus, dia juga merasa memang tak cocok untuk wanita seindah
Shania. Dengan segala kemampuannya ia mulai membunuh rasanya untuk Shania walau
mereka masih sering berjumpa di perpustakaan. Dan mereka benar-benar berpisah
selepas hari wisuda. Kadang ia menggigil ketika mengingat masa-masa itu,
“Masa-masa yang suram,” gumamnya dalam hati.
Entahlah,
betapa bertuahnya perpustakaan bagi Raihan, suatu hari ia dipertemukan kembali
dengan Shania di gudang buku itu. Namun kali ini perpustakaan Kota Bandung atau
Dispusipda yang menjadi tempatnya, hari itu ia sedang menghabiskan jatah cuti
akhir tahunnya dan tentu saja ia takkan melewatkan kesempatan berharga ini
untuk sekedar membaca buku. Dan tak pernah ia terka bisa kembali menemukan
gelora mata itu, mata bulat hitam yang sedang memindai buku di salah satu rak
besar. “Ya Tuhan,” pikirnya tak percaya.
“Aku
kira sekarang Putri Tidur lebih suka membaca buku dari pada berdiam diri di
istana,” goda Ray sambil mengambil salah satu buku di dekat Shania.
“Ray?
Wow, sedang apa kau di sini? Maksudku apa kabar?” tanya Shania heran.
“Aku
sedang berlibur, tapi aku tak bisa berlibur tanpa buku,” jawab Ray.
Shania
tersenyum tipis, itu mengingatkan Raihan pada pertemuan pertama mereka. Shania
bercerita ia sedang menjalani masa kedinasannya di Tanjung Priok, mengurusi
cukai dan sebagainya. Shania juga bercerita bahwa dia sedang mengantar adiknya
mencari buku untuk referensi skripsi.
“Wah,
jadi sekarang Putri Tidur menjadi pemandu buku juga.”
Shania
tertawa kecil, “Tapi kamu tetap menjadi pemandu terbaik,” jawaban Shania ini
membuat muka Ray kembali memerah.
Setelah
pertemuan yang menakjubkan itu mereka kembali dekat, namun perlu waktu satu
tahun bagi Ray memenangkan pergulatan dengan hatinya. Menyingkirkan perasaan
bahwa ia tak pantas untuk Shania, perasaan bahwa cinta tak harus memiiki.
Akhirnya ia beranikan diri menyatakan apa yang tersimpan dalam dada selama ini.
Ray mengirim sepucuk surat untuk Shania, surat yang telah dibuatnya dengan
menyobek ratusan lembar kertas, surat yang membuatnya terjaga siang dan malam.
Ia masih ingat satu bait penutup dalam suratnya itu.
Aku memang bukanlah
pangeran yang menemui kecup tidurmu. Tapi setidaknya aku tahu siapa putri di hidupku.
Aku tak mau menyebut ini cinta, tapi rasa ini takkan ada untuk yang lain. Sejak
awal pertemuan kita yang ajaib, aku menemukan kedamaian dalam gelora matamu.
Indah berbinar, laksana oase di kering kerontangnya Sahara hidupku. Entahlah
Shania, semua ini akhirnya meluap juga setelah sekian lama kututup rapat. Dan
bersama surat ini aku sampaikan padamu, walau desau angin dan temaram bulan
telah berkali berusaha menyampaikannya. Pada akhirnya semua kata ini telah
merdeka ketika kau membacanya, yang aku ingin bukan sebuah pernyataan atau
balasan yang sama, yang aku ingin hanya kau mendekap semua perasaanku ini
hingga menyublim merasakan kedamaian yang telah kurasakan juga selama aku
mengenalmu. Terima kasih Shania.
Setelah
Shania membaca surat Raihan itu, beberapa hari kemudian Shania menelpon Ray
untuk menyatakan sikapnya. Shania berkata bahwa ia hanya ingin hubungan yang
serius. Bukan hubungan yang picisan seperti yang dijalani remaja-remaja. Ia
berkata bahwa satu-satunya hubungan yang serius itu adalah pernikahan.
“Jika
apa yang engkau katakan itu benar Ray, datangilah ayahku, ambillah restu dari
dia dan ibuku. Ciri khas laki-laki adalah tanggung jawab, dan tanggung jawab
itu dapat laki-laki buktikan hanya dalam hubungan yang serius dan pernikahanlah
wadah satu-satunya,” kalimat terakhir yang Shania sampaikan dalam telepon itu
membuat Ray mengerti apa yang harus ia lakukan.
Selama
3 bulan Ray mendekati keluarga Shania, dan ternyata saingan yang ia miliki pun
tidak tanggung-tanggung, dari mulai anak saudagar kaya hingga pucuk pimpinan
tentara. Tapi berkat kesungguhannya dan prestasi kerja yang dapat ia raih
akhirnya ayah Shania memberikan restunya kepada Ray. Sesuatu yang lebih
berharga dari berlian manapun di muka bumi, Ray menyadari hal itu.
“Nak
Ray, Shania sudah bercerita banyak tentang kamu. Dan dari ceritanya menyiratkan
bahwa kalian memang sudah dekat cukup lama. Kamu harus tahu bahwa Shania adalah
anak bapak yang istimewa. Dia adalah perempuan yang selalu menjaga
kehormatannya, anak yang berbakti pada kedua orangtuanya. Bapak hanya minta
kamu dapat menjaga dan membahagiakannya selalu. Ibu bercerita bahwa kamu juga
memiliki agama yang baik dan memang itulah yang paling utama sebagai suami yang
baik. Bapak percaya padamu, kamu dapat menjadi imam yang baik untuk Shania,”
kata-kata itu begitu sakral Ray dengarkan dan resapi, dan tak terasa air mata
merembesi pipinya. Raihan menangis haru.
Dengan
didapatkannya restu orang tua Shania, Ray pun menyiapkan pernikahannya dengan
semangat, ia pun bekerja lebih giat. Pernikahan itu tidak terlalu mewah,
digelar di awal bulan Juni, pertengahan tahun. Pada hari pernikannya itu
Raihan untuk pertama kalinya melihat Shania berdandan atau tepatnya didandani,
walaupun ia lebih suka Shania yang apa adanya namun ia tidak bisa memungkiri
kecantikan Shania bertambah berkat dandanan itu, bertambah pula lah keyakinan
bahwa ia memang telah menemukan putri dan oasenya.
Shania
adalah saksi kesuksesan perjalanan karir Raihan yang luar biasa. Di sisi lain
Shania mampu menjadi penyeimbang ambisi-ambisi suaminya. Sejak disunting oleh
Raihan, Shania memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan fokus menjadi
istri yang baik. Dan ketika Shania mengandung anak pertama mereka tiga tahun lalu,
Ray memutuskan untuk pindah ke Bandung, selain lebih dekat dengan kelurga
mereka, Bandung adalah kota kenangan dan mungkin Ray ingin Bandung menjadi kota
dimana mereka menutup mata untuk terakhir kalinya. Walau pada awalnya Ray harus
pulang dan pergi Jakarta-Bandung, namun perusahaannya yang sekarang, yaitu
perusahaan tambang milik asing membolehkannya memimpin kantor cabangnya di
Bandung dan hal ini membuat Bandung benar-benar menjadi kotanya. Sekarang
Raihan tahu perbedaan dirinya dengan Kahlil Gibran, memang kata-kata Kahlil jauh
lebih indah dibandingkan Ray, namun setidaknya ia dapat mengungguli Kahlil ketika ia mampu mendapatkan cinta pertamanya, yaitu Shania Rahma.
***
Sebulan
terakhir ini ia semakin tak nyaman melihat praktik-praktik kotor di perusahannya.
Namun tak pernah ia mengira bahwa rapat direksi tadi pagi yang diselenggarakan
di Bandung menjadi puncak kekecewaannya. Para pemimpin perusahaan sepakat untuk
membuka lahan potensial geothermal baru
di daerah Pangalengan, yang nantinya energi itu akan dikonversi menjadi listrik
oleh sebuah pembangkit bertenaga uap yang dihasilkan panas bumi tersebut. Tapi
yang Ray tak suka adalah rencana mereka mengambil lahan itu. Para pemimpin
perusahaan berusaha menekan biaya pembangunan sekecil mungkin, dan itu berimbas
pada bagaimana mereka menawarkan harga bagi para pemilik lahan di sana.
Sekarang lahan potensial panas bumi itu adalah lahan perkebunan holtikura yang
sudah ada sejak dulu sebagai penghasil sayuran unggulan di Jawa Barat. Secara
tidak langsung para pemimpin perusahaan berusaha menjebak para pemilik
perkebunan itu dengan hanya dua pilihan, yaitu mengambil tawaran harga yang
makin lama makin menurun atau tetap kekeh menentang yang akan berbuntut pada
konflik berkepanjangan yang tentu saja pada akhirnya akan dengan mudah
dimenangkan oleh pihak penambang.
“Tapi
Pak, selain ini bertentangan dengan nilai perusahaan kita yang seyogyanya
membangun masyarakat di sekitar master
plan, rencana itu juga bisa membuat buruk citra perusahaan kita yang sedang
berkembang jika diketahui oleh media,” ucap Ray kesal kepada pemimpin rapat.
“Pak
Ray, kita itu harus realistis. Kita tak bisa mengambil lahan itu tanpa cara
ini. Lagipula hampir seluruh perusahan menggunakan cara ini sekarang ketika
akan mengambil alih lahan baru,” Ray mengerutkan dahi, jawaban pemimpin rapat
itu mengingatkannya pada jawaban ayahnya dulu, ketika ia meminta untuk
diizinkan kuliah sastra.
Karena
sepanjang rapat itu berlangsung tak ada peserta rapat yang mendukung dan
menggubrisnya, Ray memutuskan untuk keluar dari ruang rapat itu sebelum rapat
ditutup, walau mata para direktur menatapnya tajam dan ia sadar segala
konsekuensi telah menunggunya. “Setidaknya aku bisa pulang cepat hari ini,”
hiburnya dalam hati. Di perjalanan dalam mobil, ia melamunkan banyak hal,
mungkin beberapa minggu ke depan ia berpikir akan dipaksa menjual sahamnya dan
mendapatkan pesangon yang makin lama makin menurun nilainya atau dia akan
dibuat tak betah sehingga memutuskan mengundurkan diri tanpa mendapatkan
apapun. Pilihan yang sama menjebaknya seperti yang tak lama lagi akan diterima
pula oleh para pemilik lahan itu. Mulai terdengar kembali suara riuh rendah
penonton ketika ia waktu remaja membacakan puisi-puisinya, entah kenapa begitu
mendengung di telinganya hingga ia tak sadar, di suatu tikungan pengendara sepeda
motor yang berboncengan berusaha menyalipnya dari arah kiri bersenggolan dengan
mobilnya dan akhirnya tersungkur menuju aspal panas dan berteriak kesakitan.
Ray bingung keluar dari mobilnya, dari yang ia lihat sang pengendara mengalami patah
tulang sikunya karena menahan beban motor saat terjatuh, dan rekannya dengan
marah menelpon polisi. Birokrasi membuat Ray dan mobilnya diangkut ke Kantor
Polisi terdekat. Di Kantor Polisi ia bisa saja membela diri dengan mengatakan
pengendara motor itu melanggar peraturan dengan menyalibnya dari arah kiri, namun
ia masih bingung dengan apa yang terjadi, juga entahlah ia merasa malas untuk
melakukan hal itu. Ray dibebaskan dari semua tuntutan karena dalam pemeriksaan
tidak ditemukan unsur kesengajaan, hanya saja ia diwajibkan membayar ganti rugi
pada si pengendara sepeda motor, selain itu mobil dan surat-surat kelengkapan
mengemudinya sementara ditahan dan dapat diambil kembali tiga hari lagi bersama
uang denda yang ia pikir lebih tepat dinamakan uang tebusan. Sungguh hari yang
begitu buruk bagi dirinya dan semua itu membuat Ray semakin sering melamunkan
banyak hal di sisa perjalanan pulangnya. Ia seharusnya bisa pulang cepat hari
ini, tapi tak terduga karena insiden tadi siang, membuatnya pulang sore hari. Maka
petang ini Ray harus sembahyang maghrib di masjid pinggir jalan. Selepas
sembahyang, gundah gulana membuatnya lama termangu, berpikir salah apa ia
selama ini. Raihan mulai berpikir mungkin ia memang seharusnya dulu kuliah
sastra, menjadi penyair dan menghabiskan waktunya dengan berkontemplasi dengan
semua puisinya. Ia mulai bingung apa yang harus ia katakan pada putri tidurnya,
istrinya Shania, tentang semua ini. Jika ia benar-benar dipecat mungkin ia akan
berwirausaha bersama istrinya itu, Tapi bagaimana dia meyakinkan Shania? Karena
Ray tahu ia takkan pernah bisa membohongi istrinya. Atau mungkin ia akan
kembali menyongsong cita-citanya dulu, menjadi penyair, menulis puisi, berharap
riuh rendah tepuk tangan penonton setiap kali ia membacakan puisinya, tapi
apakah Shania dapat menerima hal itu? Semua kegundahan itu membuat Raihan
sesekali menangis lirih diperjalanan pulangnya, ia bisa saja pulang dengan
angkutan umum, tapi entahlah malam ini langit begitu tumpah ruah dengan sinar
bintang serta rinai gerimis kecil seakan memaksanya untuk berjalan kaki menuju
rumahnya. Malam itu Raihan merasa seperti tokoh dalam puisi-puisi Sapardi Djoko
Damono yang bertema hujan, lebih tepatnya ia seperti penyair yang pergi dengan
bingung, pikirannya mulai meliar, mungkin malam itu ia seperti penyair yang
tersesat.
***
Rumah
itu terihat sepi dari luar, ia yakin anaknya sudah terlelap tidur tapi mungkin
Shania masih terjaga. Benar saja ketika Ray mengetuk pintu, Shania segera
membuka pintu itu dengan menampakkan raut wajah yang cemas, seakan berkata
tanpa suara, “Kemana saja kau? Aku mencemaskanmu,” kata-kata yang bisa langsung
Ray rasakan. Shania menyiapkan teh hangat untuk suaminya dan bertanya lembut.
“Apa
yang terjadi Yah?” Ray pun menceritakan insiden tadi siang yang mengakibatkan
ia pulang terlambat dan menyebabkan mobil serta semua dokumen mengemudinya
disita polisi namun ia tidak memiliki keberanian untuk menceritakan apa yang sebelumnya terjadi
di kantornya, tepatnya pada saat rapat direksi. Lalu ruangan tengah itu untuk
beberapa saat hening, sebelum suara Shania yang merdu kembali memecah
kesunyian.
“Apakah
ada yang ingin ayah katakan lagi? Aku melihat ada yang berbeda pada raut
mukamu. Apakah ayah sedang memikirkan sesuatu?” tangan halus Shania menyentuh
wajah Ray, mata hitam bulatnya mendekat mempesona. Ini mengingatkan Ray mengapa
ia menyebut istrinya itu oase di kering kerontang kehidupannya
“Sebenarnya
Mah, aku ingin mengatakan...” Ray berpikir apakah ini saatnya untuk mengatakan
semua yang ia pikirkan tadi pada oasenya? Tentang kegundahannya, tentang
puisinya, tentang riuh rendah tepuk tangan penonton yang selau ia dambakan?
“Hmm,
aku hanya ingin berkata, aku begitu menyayangimu Shania,” tiba-tiba hati Ray
kembali menciut untuk mengatakan yang sebenarnya, walau ia tahu Shania langsung
dapat mendeteksi kebohongannya itu. Ia kira sekarang bukan saat yang tepat
membuat putri tidurnya begadang semalaman mendengar celotehan dirinya. Ray
melihat mata bulat Shania menatapnya hangat, laksana sepoi angin di kala
kemarau panjang. Shania selalu menjadi oase bagi Ray yang kehausan dan keletihan.
Tapi entah kenapa ia menjadi merasa begitu ironi, merasa semuanya begitu
metaforik. Memang sang penyair yang tersesat telah menemukan oasenya, namun
entahlah sang penyair kini merasa ada hal yang janggal. Mungkin sang penyair
tersesat itu merasa telah ditelan oleh oasenya sendiri. ***
Comments
Post a Comment