Surat Untuk Permen Jahe
Surat Untuk Permen
Jahe
Kiranya kita memilki keresahan yang sama tentang
kepayahan hidup. Namun entah kenapa jika kita berbicara tentang “kita” selalu
ada yang mengganjal dan sepertinya masing-masing dari kita begitu malas
membicarakannya, tapi sebuah keniscayaan pula bahwa pada akhirnya semua ihwal
yang mengganjal harus dipahami dengan kejujuran.
Aku bukan orang yang berjenis urakan, bukan juga manusia
yang materialistis, bukan pula titisan Narcissus, dan fakta ini kukira kau pun
mengetahuinya walau agak hiperbolik. Maka beberapa kata yang termuat ini adalah
kata yang memang benar jengah tersimpan. Aku mengakui tentang syndrome yang pernah kau katakan dan
memang kuakui kadang kefasihan parley-ku
mendadak menghilang ketika bertemu dengan orang yang kuanggap superior,
termasuk kamu. Maka kupikir tak ada yang lebih aman dan lebih efektif
menyampaikan sesuatu bagiku dibandingkan dengan menulis. Maka kuharap biarkan
semua kata yang termuat ini merdeka dengan cara kau membaca dan memahaminya.
Langsung saja hanya satu yang ingin kusampaikan,
permohonan maaf. Sudah terlalu jejal dosa yang telah kulakukan maka aku tak mau
kesalahanku pada orang lain dan sesuatu yang belum terkonfirmasi memperburuk
keadaan itu. Aku paham betul nilai kepercayaan itu laksana lembaran kertas,
jika telah lecek karena diremas sebesar apapun usaha kita hampir tidak mungkin
membuatnya kembali mulus seperti sediakala. Maka orientasiku bukan
mengembalikan bentuk fisik kertas itu, tapi setidaknya tulisan yang tertera
padanya dapat dan layak dibaca kembali. Kuharap kau menangkap maksudku. Jangan
ada lagi semacam kehiprokitan, memaafkan namun menyangsikan dari belakang,
jadilah kita manusia yang saling mendoakan, seperti kata Sapardi Djoko Damono
apalah arti hidup ini selain doa yang panjang.
sumber: towerofpower.com.au
Kenangan pasti akan tetap usang, duri kesalahan mungkin
saja ada yang selamanya tersimpan, dan perkataan yang dianggap bualan takkan
pernah bisa ditanggalkan. Tapi masihkah harus ada mata yang memicing tanda tak
suka ketika kita berpapasan? Haruskah pintu-pintu kemudahan hidup yang
seharusnya terbuka, tersegel rapat karena secercah kebencian dan prasangka tak
berarah? Boleh saja kau katakan, “Aku memaafkan, so please, leave me alone! Take away from me!”. Sudah kujelaskan
dengan jujur, tak ada sifat urakan yang dominan dalam diriku, tak sampai hati
aku bermaksud mengganggu hidupmu kembali. Listen
to me, who knows? Hidup hanya
tumpukkan hari, berlalu hari berlalu pula banyak hal yang kita alami, jadi
biarkan aku memperbagus kehidupan sosialku dalam tenggat waktu yang tak pernah
satu debu pun tahu.
Pada akhirnya aku ucapkan terima kasih atas kesempatan
berharga ini, salah satu mozaik hidupku jadi begitu berwarna karena dirimu.
Maafkan aku.
Danke,
Baso
Malang
Comments
Post a Comment